4. Jejak Nasionalisme pada Tokoh Ali Topan, Lupus, dan Balada Si Roy
Merekam jejak nasionalisme pada setiap zaman tentu bukanlah
merupakan suatu usaha yang mudah. Hal ini dapat dipahami karena setiap zaman
memiliki persepsi masing-masing mengenai sikap kebangsaan. Jadi, dapat saja
dalam implementasinya persepsi tentang nasionalisme tersebut berubah-ubah atau
bergerak secara dinamis sesuai dengan tafsiran zamannya.
Tiga tokoh remaja yang dijadikan objek penelitian ini merupakan
tokoh yang lahir dari zaman yang berbeda. Ali Topan adalah representasi tokoh
remaja tahun 70-an, saat terjadi masa transisi perubahan arah kepemimpinan
nasional Indonesia. Sementara itu, Lupus dan Roy adalah representasi remaja
80-an saat kepemimpinan nasional (Soeharto) mulai menapaki tingkat
kematangannya (lihat pengantar Dhakidae dalam Imagined Communities).
Dilihat dari sisi waktu, kedua tokoh terakhir merupakan tokoh yang lahir
bersamaan. Akan tetapi, itu tidak
menjamin bahwa kedua tokoh tersebut memiliki perspektif yang sama mengenai
nasionalisme. Ketiga novel ini memiliki kunci yang sama: meskipun lahir dalam
generasi yang berbeda-beda, ketiga novel tersebut lahir pada masa Orde Baru.
Hanya saja, meminjam bahasa Dhakidae, perbeda annya terletak pada tingkat
pengerasan kekuasaan Orde Baru terhadap rakyat Indonesia yang berbeda-beda.
Ali Topan adalah remaja yang lahir pada masa transisi dari Orde Lama
ke Orde Baru. Tokoh ini menjadi representasi remaja pada tahun 70-an. Novel Ali
Topan Anak Jalanan menggambarkan realitas sosial keluarga kelas atas
Jakarta yang merupakan poros transisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah
teks, novel ini dengan jeli mengangkat kehidupan kota metropolitan yang mulai
tersentuh oleh nilai-nilai baru: materialisme, hedonisme, dan tergerusnya
nilai-nilai moral.
Novel ini terbit pada 1977, ketika pemerintahan Orde Baru masih
menata diri setelah konflik ideologis yang terjadi pada 1965-an. Jika disimak
lebih jauh lagi, ada kemungkinan pada masa itu Indonesia sedang menapaki model perekonomian yang dicanangkan Soeharto
yang dikenal dengan politik ekonomi pembangunan. Pada masa itu, investasi mulai
digalakkan, perekomian bergerak setahap demi setahap dengan program pemerintah
yang dikenal dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Akan tetapi,
pembangunan ekonomi ini ada konsekuensinya: stabilitas politik diperkuat agar
tidak mengganggu perekonomian Indonesia yang sedang berkembang. Berkembangnya
perekonomian tersebut tampak dari berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia,
terutama di kota Jakarta. Produk-produk teknologi dari luar negeri masuk dengan
mudah ke Indonesia sehingga dikonsumsi oleh masyarakat Jakarta. Hal itu
terlihat dari kutipan di bawah ini.
“He, Bajingan!” seorang pengendara Toyota Corolla 1973
warna kuning memaki Ali Topan yang hampir ditubruknya (hlm. 2)
Orang
muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali
Topan CS. (hlm.3)
Ketika
Dudung mengunjunginya pertama kali pada
suatu malam Minggu, di rumah Meiske itu
berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngos-ngosan,
sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng Remember Me. (hlm. 211)
Pada kutipan di atas, merek-merek mobil keluaran luar negeri dengan
berbagai tipe menjadi kosakata biasa. Hal ini menandakan bahwa merek-merek
mobil tersebut sudah menjadi konsumsi dan bagian dari gaya hidup bangsa
Indonesia pada masa itu. Akan tetapi, kemakmuran tersebut diakui tokoh tidak
terlepas dari hutang pemerintah Indonesia kepada pihak asing. Kutipan di bawah
ini menggambarkan hal itu.
“Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu
baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak,
macks?” kata Gevaert, “yang penting kan bayar. Pemerintah kita kan juga suka
ngutang sama IGGI,” tambahnya. (hlm. 29)
IGGI (Intergovernmental Group on
Indonesia) adalah kelompok negara pendonor yang diketuai Belanda,
yang membantu pembangunan Indonesia selama periode 1967-1991 (Usman, suryaonline.co.id). Pada saat
itu, Indonesia dalam masa pembangunan sehingga banyak menggantungkan keuangan
negara dengan melakukan pinjaman pada IGGI. Menurut Usman, terbentuknya lembaga
ini diawali dengan keberhasilan pemerintah Indonesia menggalang dukungan dan
menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam forum Paris Club.
Setelah itu, muncullah gagasan akan perlunya suatu forum antarpemerintah yang
memberikan dukungan baik dana pinjaman maupun pemikiran terhadap arah
pembangunan Indonesia. hal itulah yang membuat perekonomian Indonesia
berangsur-angsur membaik.
Penggalan percakapan di atas bukan
hanya sebatas deskripsi, tetapi juga menyiratkan sebuah kritik terhadap
pemerintah Indonesia. Dari sinilah, mulai tergambar penokohan Ali Topan. Ali
Topan digambarkan sebagai sosok yang cerdas sekaligus pembangkang. Hal itu tampak dari kutipan-kutipan di bawah
ini.
Buat Ali Topan tak sulit mengggarap soal ulangan itu.
Ali Topan adalah murid terpandai di sekolahnya sejak kelas satu dulu.
Kecerdasannya di atas rata-rata anak seusianya….. Teman-teman bahkan gurunya
heran, bagaimana mungkin anak berandal yang tak pernah terlihat belajar, tampak
santai di sekolah itu dapat menjadi murid terpandai di sekolah… (hlm. 69)
….
Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku. Ada
buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku karya
Bung Karno serta kumpulan pidato presiden pertama Republik Indonesia itu. Ada
buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesia
lama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan
Teguh Santosa.… Di antara buku-buku itu terkadang ada buku stensilan yang kalau
ditinjau dari segi pornografi, cukup mengasyikkan! (hlm. 42).
Gambaran di atas memberikan identitas Ali Topan yang kompleks. Ia
penyuka buku-buku populer, tetapi ia juga pembaca buku-buku yang membutuhkan
tingkat pembacaan yang tinggi. Keberadaan buku-buku Soekarno dan Niccolo
Machiavelli juga menandakan pemerintahan Orde Baru yang masih muda, sehingga pengawasan
sosial terhadap masyarakat masih belum begitu ketat. Bandingkan misalnya dengan
pengawasan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer pada tahun 80-an ketika
karya tetralogi Pulau Buru dilarang terbit. Keberadaan buku-buku Soekarno itu
yang dikaitkan dengan tokoh utama dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk
penolakan Ali Topan pada realitas (sistem) sosial pada masa itu yang semakin
kental dengan nuansa kapitalisme.
Bentuk penolakan tersebut semakin tampak pada perilakunya yang hobi
mengebut di jalanan, melakukan pembangkangan terhadap norma-norma yang diatur
di rumahnya, serta mangkir terhadap aturan-aturan sekolahnya. Tampaknya,
dengan cara itu Ali Topan melakukan kritik terhadap sistem sosial yang ada.
Jika dikaitkan dengan sikap kebangsaan, nasionalisme pada diri Ali Topan
berwujud pada ketidaksepakatannya pada tatanan nilai bangsa yang dianggapnya
semakin melenceng dari nilai-nilai luhur.
Hal lain yang menarik bagi penulis adalah kutipan di bawah ini.
“Komisinya berapa prosen?”
“Tin persen,” kata Ali Topan, “mau diambil sekarang uang
mukanya juga boleh,” tambahnya sambil tersenyum. (hlm. 89)
Kutipan di atas adalah dialog yang bercampur guyonan antara
Ali Topan dan Maya, teman sekolahnya. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak,
kata tin seharusnya ditulis ten. Ungkapan “tim persen”
mengasosiasikan pada ungkapan “Madame tien percent”, sebuah istilah yang
mencuat ketika Siti Suhartinah Soeharto – lebih dikenal dengan nama Tien
Soeharto – terlibat penuh dalam proyek mercusuar “bangsa” Indonesia: Taman Mini
Indonesia Indah. Proyek besar yang ini
pada saat itu mendapat penentangan yang keras, terutama dari mahasiswa yang
membuat Soeharto marah karena erasa dilecehkan setelah berbuat segalanya demi
kepentingan “bangsa” (lihat Dhakidae dalam pengantar Imagined Communitites).
Sama seperti Ali Topan, Lupus adalah sosok remaja Jakarta yang
dibesarkan pada tahun ‘80-an. Novel serial ini mengangkat cerita
kehidupan Lupus, sosok remaja yang selalu ceria, indah dan menyenangkan.
Kisah-kisah humoris dengan bahasa gaul anak remaja, menggambarkan kehidupan
anak SMA yang ringan—tanpa beban.
Keluarga Lupus termasuk ke dalam kelas menengah. Ibunya memiliki
usaha katering untuk menghidupi keluarga setelah ayah Lupus meninggal. Namun,
lingkungan sekolah Lupus mengetengahkan realitas ekonomi yang beragam,
dari kelas menengah ke bawah sampai
menengah ke atas. Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosial Lupus dan
teman-temannya menjadi lebih beragam. Lupus, Boim, Gito dan Gusur termasuk ke
dalam golongan keluarga yang biasa-biasa saja. Setiap berangkat sekolah, mereka
menggunakan fasilitas bis umum. Tetapi ada juga temanya seperti Vera, yang
selalu diantar-jemput sopir, atau Fifi Alone, yang hampir setiap hari
mentraktir teman-temannya.
Lupus memang digambarkan seperti tak pernah mengalami kesulitan.
Hidupnya selalu bahagia: hal itulah yang membuat serial Lupus digandrungi
pembaca. Berbagai kejadian yang menimpa Lupus selalu terkesan lucu dan
mengundang tawa. Kehidupan yang selalu dianggap ringan dan menyenangkan membuat
Lupus menjadi remaja yang selalu dalam perasaan senang. Lupus selalu bahagia
menjalankan kehidupannya meskipun
kadang-kadang kehidupan tersebut tidak selalu menyenangkan.
Pada satu sisi, Lupus memiliki kesamaan dengan Ali Topan. Ia juga
orang yang kreatif meskipun tidak terlalu cerdas, menikmati keremajaannya
dengan kemampuannya menulis freelance di majalah remaja, sering mengisi
rubrik mading sekolah, terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah, tetapi juga
menikmati kejahilan-kejahilan yang dilakukannya dengan sadar bersama
teman-temannya. Intinya, Lupus adalah remaja yang menikmatinya masa remajanya
dengan irama yang mengalir.
Ciri khas yang paling menonjol pada diri Lupus adalah sikap hidupnya
yang selalu memandang sesuatu secara positif. Kejadian negatif apapun yang
dialaminya selalu dilihatnya dari kaca mata positif. Itulah yang membuat Lupus
selalu ceria dan tanpa beban. Pun ketika prestasi sekolah yang dicapainya
tergolong biasa-biasa saja. Kutipan di bawah ini menegaskan hal itu.
“Saya dengar kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu
pembagian rapot bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil
menjabat tangan Anto.
“Ah,, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok. Tewas dengan
sukses. Hahahaha….”
(hlm. 38)
Demikianlah kepribadian Lupus. Akan tetapi, sikap hidup positif,
ceria, dan tanpa beban itu memiliki implikasi yang lain. Lupus menjadi kurang
peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungannya.
Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan realitas sosial di lingkungannya
disikapi Lupus secara tidak kritis. Contohnya adalah saat banjir melanda
kampungnya seperti yang dikutip berikut ini.
“Daerah tempat Lupus tinggal termasuk daerah yang cukup
aneh juga. Suka kebanjiran. Nggak peduli hujan lebat atau sekadar
rintik-rintik, ya tetap kebanjiran. Kalau sudah begitu, daerah sekelilingnya
nggak ketulungan beceknya. Kayak kandang bebek. Namun Lupus toh tidak pernah
sombong meski tinggal di daerah elit macam begitu. Biasa-biasa aja.” (hlm.77)
“Jadi ya
suka-suka aja banjirnya. Nggak bisa dipaksa. Kata orang sih itu banjir kiriman
dari Bogor. Tapi Lupus nggak percaya. Masalahnya, apa orang-orang Bogor segitu
kurang kerjaannya sampai sempat-sempatnya ngirim banjir segala ke rumah Lupus?
Lagian, memaketkan air sebanyak itu rada sulit juga, lho! Belum lagi ongkos
kirimnya. Jadi jelas bo’ong.” (hlm.77)
Realitas sosial maupun ekonomi yang menimpa Lupus selalu disikapi
Lupus dengan ringan. Banjir sekalipun tak pernah membuat Lupus bersedih,
mengeluh, atau mengkritiknya. Fenomena banjir tersebut sebenarnya dapat
disikapi dengan cara yang lebih kritis. Akan tetapi, Lupus lebih memilih
menyikapinya dengan cara santai.
Bagi Lupus, masalah sosial tersebut bukanlah sesuatu yang perlu
dipermasalahkan secara serius. Dalam hal ini, masalah sosial tersebut oleh
Lupus dapat dibolak-balik sehingga suatu masalah besar menjadi sesuatu yang
ringan saja. Padahal, fenomena “banjir kiriman” dari Bogor ini merupakan
masalah yang besar. Widya Siska dalam artikelnya “Jika Hujan Bukan Lagi Rahmat”
mengutip Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Jakarta Slamet Daroyni yang menilai banjir yang sering terjadi
disebabkan sistem drainase yang ada di DKI Jakarta sangat buruk. Penyebab
lainnya adalah pemberian izin pembangunan gedung yang berjalan sporadis
sehingga merusak hutan kota. Di sisi lain, Tingginya curah hujan di Bogor
ditambah merebaknya pembangunan area perumahan mewah di daerah Puncak membuat
air hujan mengalir dan menggenangi Jakarta.
Uraian di atas menandakan bahwa banjir bukan
hanya merupakan fenomena alam, tetapi juga menandakan adanya ketidakberesan
dalam penyelenggaran pemerintahan. Ada persoalan utama
yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah yang perlu dikritisi. Dan
itu berarti ada permasalahan keadilan yang diciderai, terutama oleh orang-orang
yang memiliki kekuasaan. Akan tetapi, di tangan Lupus, masalah tersebut menjadi
sebuah masalah yang ringan, bahkan cenderung lucu sehingga membuat pembaca
menjadi lalai pada masalah sesungguhnya.
Inilah sosok Lupus, representasi remaja yang menjalani kehidupannya
dengan ringan, santai, dan tanpa beban. Karena itu, kehidupan Lupus sebenarnya
cenderung lepas dari konflik karena dia menyikapi fenomena di dalam
lingkungannya tanpa pretensi apa-apa. Persaingan yang dilakukan di antara dia
dan teman-temannya – dalam hal menggaet cewek atau saling berebur pengaruh
dalam prestasi di lingkungan sekolah – cenderung cair sehingga tidak pernah
terjadi konflik yang signifikan.
Pada satu sisi, hal ini mengungkapkan serta menawarkan keceriaan
masa remaja. Akan tetapi, di sisi lain sosok Lupus dapat memberi pengaruh pada
pembaca untuk menjadi tidak kritis terhadap realitas sosial yang terjadi di
masyarakat.
Tentu sulit mendapatkan gambaran nasionalisme secara definitif dalam
novel ini. Lupus adalah representasi remaja yang menikmati segala pernak-pernik
kehidupannya sebagai seorang remaja: pahit-manis kehidupan sekolah,
persahabatan, percintaan, dan kenakalan (kejahilan) remaja. Dunia Lupus adalah
dunia remaja yang penuh dengan keceriaan. Barangkali, inilah representasi
remaja yang lahir pada masa 80-an ketika Orde Baru telah sukses mencanangkan
proyek pembangunannya dengan menjaga stabilitas sosial politik secara konstan
dan terjaga. Jadi, nasionalisme yang tecermin dalam novel ini adalah sikap
kebangsaan yang diformulakan dengan cara mendukung sepenuhnya segala bentuk
pembangunan Indonesia, termasuk dengan cara menikmatinya segala kemapanan
ekonomi tersebut.
Jika Lupus lahir dan berada di pusat kekuasaan, Roy
mengetengahkan realita sosial ekonomi menengah ke bawah di pinggiran Kota
Jakarta, tepatnya di daerah Banten. Latar belakang keluarga Roy hampir sama
dengan latar belakang kehidupan Lupus. Ayah Roy telah meninggal sehingga untuk
menghidupi keluarga Ibunya bekerja menjahit pakaian.
Jika dunia lupus digambarkan penuh dengan gelak tawa, dunia Roy
adalah dunia yang kelam. Jika dunia remaja Lupus digambarkan penuh keceriaan,
dunia remaja Roy digambarkan penuh liku dan intrik-intrik dan persaingan. Jika
serial Lupus menyuguhkan realita yang berwarna indah, Balada Si Roy menyuguhkan
realita yang perih dan bagaimana seorang Roy harus menghadapinya. Dapat
dikatakan, Roy adalah sosok alter ego Lupus. Pada Balada Si Roy, sosok
Roy digambarkan sebagai sosok yang keras dengan lingkungan keras. Karena itu,
sejak awal sudah tergambar bentuk-bentuk persaingan yang mengarah pada konflik
terbuka. Sosok Roy digambarkan secara sadar memilih untuk terlibat dalam
konflik-konflik tersebut. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini.
….Ada empat koboi sombong dengan angkuh sedang nangkring
dengan Hardtop-nya. Di bodi mobil itu tertulis sembilan huruf besar-besar.
Borsalino, bisik Roy mengeja huruf-huruf itu. Sorot mata
mereka sinis dan tidak bersahabat. Dia mesti hati-hati dengan kelompok itu.
Persaingan sudah dimulai saat itu juga. Itulah remaja. Dunia lelaki. Keras dan
kadang kala tidak bertanggung jawab. Dia menyadari dan berani menghadapi
risikonya. (hlm. 4)
Jika Lupus cenderung lebih santai dalam menanggapi realitas sosial
yang ada, Roy justru digambarkan penuh dengan sikap protes dan penolakan.
Bandingkan sikap santai Lupus menghadapi banjir yang menimpa rumahnya dengan
sikap kritis Roy terhadap fenomena sosial di sekitarnya.
Bagi
yang biasa diberi uang saku memang tidak masalah. Tapi yang tidak? Atau
guru-guru yang gajinya pas-pasan untuk bayar kreditan perumnas atau BTN, belum
dipotong iuran-iuran lainnya? (hlm.129)
Kalau saja setiap guru punya mobil dan gajinya sesuai
dengan kondisi zaman, betapa mereka akan bahagia dan leluasa mencurahkan
ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya, tanpa harus memikirkan apakah uang bayaran
anaknya sudah lunas dan jatah beras selama sebulan mencukupi? (hlm.130)
….
Katanya sudah sepuluh tahun mangkal di situ. Tidak ada perubahan dalam segi
ekonomi selain kiosnya yang semakin reyo, juga orangnya yang suka
sakit-sakitan. Ini jelas puisi kehidupan. Menyedihkan. Di bumi kita ini, yang
kaya memang semakin kenyang dan yang
miskin semakin tenggelam (hlm. 51.).
Dibandingkan dengan Lupus, Roy justru cenderung lebih problematis.
Kehidupannya yang banyak ditempa oleh kerasnya hidup membuat Roy lebih peduli
dengan fenomena sosial di sekelilingnya. Sebagai sosok alter ego Lupus, Roy
memang agak kesulitan menerima realita yang ada. Roy adalah representasi remaja
yang terlepas dari dunia konkretnya dan mencoba menemukan dunia yang
diidealkannya. Ia melakukan protes dan penolakan terhadap kehidupan bangsanya
dengan mencari dan terus mencari dunia yang diidealkannya – dunia yang dalam
pandangan Plato sebagai dunia ide – dengan melakukan petualangan demi
petualangan.
4. Penutup
Nasionalisme pada pemerintahan Orde Baru adalah sikap kebangsaan
yang diimplementasikan dengan kepatuhan dan ketundukan terhadap negara.
Pemerintah Orde Baru sebagai alat negara pada saat itu adalah lembaga yang
menentukan tingkat kepatuhan rakyatnya terhadap kebijakan pemerintah dengan
konsep pancasilais dan tidak pancasilais.
Novel yang lahir pada awal pemerintahan Orde Baru pada tahun ’70-an
masih dibayang-bayangi oleh sistem Orde Lama. Pengaruhnya terlihat pada tokoh
Ali Topan dalam Ali Topan Anak Jalanan sebagai representasi remaja Indonesia pada masa itu.
Di satu sisi, Ali Topan adalah remaja dibesarkan pada masa Orde Baru, tetapi di
sisi lain ia pun dilahirkan pada masa Orde Lama. Hegemoni pemerintah pada
generasi muda (remaja) pada saat itu belum cukup matang sehingga melahirkan
tokoh remaja yang kritis dan cenderung memberontak terhadap nilai-nilai yang
mulai digulirkan pada sistem pemerintahan Orde Baru.
Sementara itu, novel yang lahir ketika sistem Orde Baru yang sudah
mulai matang pada tahun ’80-an melahirkan tokoh remaja dengan sikap kebangsaan
yang terbelah. Pertama, remaja yang dapat menerima realitas yang dikontruksi
Orde Baru, dengan menjalani sistem tersebut dan memposisikan dirinya sebagai
bagian dari sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Lupus dalam
novel Lupus. Kedua, remaja yang tidak
dapat menerima realitas yang dikonstruksi Orde Baru, dengan cara keluar dari
bagian sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Roy dalam novel Balada Si Roy.