Senin, 25 Februari 2013

Masihkah Ada Kategori Novel Serius dan Novel Populer?


Sebuah teks sastra, terlepas teks tersebut dikategorikan sebagai teks bermutu sastra tinggi atau bermutu sastra rendah, pastilah memiliki nilai. Demikian Roland Barthes pernah berkata. Barthes (1981) meyakini bahwa seberapa pun kadar nilainya , maka ia layak mendapatkan kajian dalam perspektif apapun.         
           Sebuah karya sastra tidak hanya dilihat dari estetika saja. Hal itu sudah dikemukakan Horatius sejak lama. Bagi Horatius, teks sastra tidak hanya harus mengandung “dulce” (keindahan), tetapi juga mengandung “utile” (kemanfaatan). Itu artinya sebuah teks sastra selain dinilai dari segi keindahannya (estetika), juga harus memberikan nilai manfaat bagi pembaca.
            Jika dihubungkan dengan aspek manfaat ini, saya teringat masa bertahun-tahun yang lalu saat saya masih remaja. Masa itu adalah masa ketika saya dan lingkungan sosial saya begitu mengidolakan Lupus. Sebagai seorang idola, segala perilaku Lupus saya ikuti. Rambut berjambul, lengan baju dilinting, dan tas bergaya Lupus, menjadi perilaku keseharian saya. Jika mengingatnya sekarang, saya mungkin akan tertawa geli. Tapi hal itu juga menyadarkan saya betapa sebuah fiksi dapat mempengaruhi saya dan lingkungan sosial saya sebegitu dahsyatnya. Dan itu juga tampak pada sosok Roy dalam  Balada Si Roy yang banyak menginspirasi anak muda pada masa itu. Jadi, saya berkesimpulan bahwa karya fiksi, terlepas apakah ia dikategorikan karya populer atau karya sastra, pasti memberikan nilai-nilai pada pembaca.
            Sejauh ini, novel populer selalu dipandang sebelah mata. Novel populer dianggap tidak memiliki estetika adiluhung, melainkan hanya mengandung nilai-nilai yang dangkal sehingga tidak perlu diapresiasi. Pandangan ini sudah merupakan pandangan yang umum di kalangan para pengamat sastra atau orang-orang yang berkecimpung di ranah sastra, termasuk pula di wilayah akademik. Maka tak heran, misalnya, banyak mahasiswa sastra yang menjadi buntu proses kreatifnya karena takut karya mereka dikategorikan ke dalam sastra populer. Stigma penulis sastra populer merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi mahasiswa sastra. Begitu pula dalam wilayah pengkajian sastra. Novel-novel populer sepertinya masih menjadi bahan kajian yang tabu. Ia hanya menjadi rak-rak di toko buku, menjadi bacaan menarik bagi masyarakat awam, tetapi tidak pernah mampu masuk ke dalam pintu gerbang wilayah pengkajian sastra.
            Padahal, diakui atau tidak diakui, sastra populer telah berkembang begitu pesat. Itu terbukti dari massifnya penulisan dan penerbitan novel dan kumpulan cerpen yang ber-genre ini. Artinya, fenomena sastra populer ini adalah fenomena yang berkembang di ranah kesastraan itu sendiri. Jadi, sangat disayangkan kalau kita seperti mengabaikannya seolah-olah ia tidak pernah ada.
            Kata populer memang sering berkonotasi rendah. Populer selama ini diidentikkan sebagai budaya massa. Budaya massa diyakini sebagai budaya yang sifatnya afirmatif, dangkal, dan cenderung seragam sehingga tidak memberikan kekhasan pada dirinya. Tanda-tanda tersebut menjadikan sastra populer bukanlah bagian dari budaya adilihung, dan karena itu tidak layak untuk diapresiasi.
            Akan tetapi, perspektif di atas dicurigai sebagai pola pemikiran yang sangat bias dengan cara pandang filsafat modern. Pengkategorian budaya tinggi- budaya rendah, sastra serius-sastra populer merupakan suatu modus operandi filsafat modern dalam usahanya menyingkirkan wacana-wacana kecil  ‘mini narasi’ dari lingkaran wacana besar – dalam bahasa Francois Lyotard grand naration - atau wacana terpusat. Modus seperti ini pula yang diyakini Nenden Lilis (Pikiran Rakyat, 12/4/2008) menjadikan sastra populer dikesampingkan dalam wacana kesusastraan Indonesia.
Berkembangnya pemikiran posmodern yang salah satunya melahirkan kajian budaya (cultural studies) menjadikan batas antara kebudayaan (sastra) tinggi dan kebudayaan (sastra) rendah/ populer semakin kabur. Yasraf Amir Piliang (Pikiran Rakyat, 24/6/2008) mengatakan bahwa kaum posmodern berusaha mendekonstruksi benteng pemisah antara budaya (sastra) tinggi dan budaya (sastra) massa (populer) sehingga tercipta ruang heterogenitas dalam budaya (sastra).  Dengan cara itu, sastra populer  yang selama ini selalu diletakkan di luar wilayah sastra dapat didudukan sebagaimana mestinya.
Karena itu, saat ini, kajian-kajian terhadap novel-novel yang selama ini dikategorikan sebagai karya populer sangat dimungkinkan. Abrams (2006) mengatakan bahwa dalam penelitian sastra, kita dapat mengkaji karya dari empat pendekatan yaitu pendekatan objektif, mimetik, ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan objektif melihat karya sastra dari teks an sich. Artinya, teks sastra dipahami sebagai sesuatu yang otonom. Pada tataran inilah unsur-unsur di dalam teks dapat dilihat dari segi estetikanya. Sementara itu, pendekatan mimetik mengandaikan bahwa karya sastra adalah tiruan atau representasi dari realitas. Itu artinya untuk memotret realitas pada suatu masa, kita bisa meneliti karya sastra yang lahir pada masa itu. Dengan kata lain, kita meneliti karya dari representasi sosiologinya. Pendekatan ekspresif dilihat pada sisi pengarang. Yang diteliti adalah bagaimana pengarang bisa melahirkan sebuah karya sastra. Yang terakhir adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan ini mengutamakan kemanfaatan sebuah karya sastra terhadap masyarakat pembaca.
Jadi, jelaslah bahwa sebuah karya sastra tidak hanya dilihat dari segi estetikanya saja, tetapi dapat dilihat dari berbagai perspektif. Karena itu pula, novel populer menjadi sah untuk dimasukkan ke dalam pengkajian sastra. Jika selama ini novel populer tidak layak dijadikan kajian karena estetikanya dianggap berkadar rendah, mengacu pada paparan di atas, pernyataan tersebut dapat dimentahkan. Selain itu, kajian sastra tidak hanya melingkupi penelitian terhadap mutu estetika sastra saja. Banyak hal yang bisa dikaji dari sebuah teks sastra, pun teks yang selama ini dikategorikan sebagai teks fiksi popular. Berbegai pendekatan bisa dilakukan terhadap objek dalam suatu penelitian.
Saya kira sebuah institusi keilmuan – termasuk individu di dalamnya -  perlu membuka diri terhadap fenomena yang berkembang di masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, kita tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Karena itu, dinamika yang terjadi di masyarakat menjadi bagian tanggung jawab kita semua. Pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada manfaatnya sama sekali meneliti sebuah novel populer adalah sebuah pernyataan yang berangkat dari pemikiran yang terpusat. Cara pandang ini hendaknya sudah mulai kita tinggalkan agar kita tidak ditinggalkan oleh masyarakat itu sendiri.
Dunia keilmuan bukanlah dunia yang terpisah dengan dunia masyarakat. Karena itu, sudah sepantasnyalah kita membuka mata terhadap apa yang terjadi di dunia kita.







2 komentar:

  1. Wow...Aji melakukannya finally ...sebuah terobosan yang harus diberi jempol yang telah dilakukan oleh anak muda yang juga seorang "akademisi" jebolan dari fakultas sastra Unpad...dengan sangat jelas,lantang dan lugas memposisikan "karya sastra populer" ditempat yang layak untuk dihargai...dimana "pembiaran" ini sebenarnya sudah terjadi jauh sejak Aji...masih berstatus mahasiswa...bukan begitu Pak Aji, Bravo Kreatifitas Go...Aji Go...Fight and Win

    Warm Regards,
    Erwin Rusia 93

    BalasHapus
  2. hehehe... terima kasih atas apresiasinya. Ini hanya sekadar menyuarakan sesuatu yang tidak diberikan kesempatan untuk bersuara, terutama di ruang akademik. Betul sekali, Pak Erwin, memang sudah lama sekali, maka pelan-pelan sikapa "pembiaran" itu berubah menjadi peduli. Go... fight... win... Sastra! (sekarang namonyo lah jadi Fakultas Ilmu Budaya, Win heheh...) Salam sukses!

    BalasHapus