Sebuah teks sastra, terlepas teks
tersebut dikategorikan sebagai teks bermutu sastra tinggi atau bermutu sastra
rendah, pastilah memiliki nilai. Demikian Roland Barthes pernah berkata.
Barthes (1981) meyakini bahwa seberapa pun kadar nilainya , maka ia layak
mendapatkan kajian dalam perspektif apapun.
Sebuah
karya sastra tidak hanya dilihat dari estetika saja. Hal itu sudah dikemukakan
Horatius sejak lama. Bagi Horatius, teks sastra tidak hanya harus mengandung “dulce”
(keindahan), tetapi juga mengandung “utile” (kemanfaatan). Itu artinya sebuah
teks sastra selain dinilai dari segi keindahannya (estetika), juga harus
memberikan nilai manfaat bagi pembaca.
Jika
dihubungkan dengan aspek manfaat ini, saya teringat masa bertahun-tahun yang
lalu saat saya masih remaja. Masa itu adalah masa ketika saya dan lingkungan
sosial saya begitu mengidolakan Lupus. Sebagai seorang idola, segala perilaku
Lupus saya ikuti. Rambut berjambul, lengan baju dilinting, dan tas bergaya
Lupus, menjadi perilaku keseharian saya. Jika mengingatnya sekarang, saya
mungkin akan tertawa geli. Tapi hal itu juga menyadarkan saya betapa sebuah
fiksi dapat mempengaruhi saya dan lingkungan sosial saya sebegitu dahsyatnya.
Dan itu juga tampak pada sosok Roy dalam Balada Si Roy yang banyak menginspirasi
anak muda pada masa itu. Jadi, saya berkesimpulan bahwa karya fiksi, terlepas
apakah ia dikategorikan karya populer atau karya sastra, pasti memberikan
nilai-nilai pada pembaca.
Sejauh
ini, novel populer selalu dipandang sebelah mata. Novel populer dianggap tidak
memiliki estetika adiluhung, melainkan hanya mengandung nilai-nilai yang
dangkal sehingga tidak perlu diapresiasi. Pandangan ini sudah merupakan
pandangan yang umum di kalangan para pengamat sastra atau orang-orang yang
berkecimpung di ranah sastra, termasuk pula di wilayah akademik. Maka tak
heran, misalnya, banyak mahasiswa sastra yang menjadi buntu proses kreatifnya
karena takut karya mereka dikategorikan ke dalam sastra populer. Stigma penulis
sastra populer merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi mahasiswa sastra. Begitu
pula dalam wilayah pengkajian sastra. Novel-novel populer sepertinya masih menjadi
bahan kajian yang tabu. Ia hanya menjadi rak-rak di toko buku, menjadi bacaan
menarik bagi masyarakat awam, tetapi tidak pernah mampu masuk ke dalam pintu
gerbang wilayah pengkajian sastra.
Padahal,
diakui atau tidak diakui, sastra populer telah berkembang begitu pesat. Itu
terbukti dari massifnya penulisan dan penerbitan novel dan kumpulan cerpen yang
ber-genre ini. Artinya, fenomena sastra populer ini adalah fenomena yang
berkembang di ranah kesastraan itu sendiri. Jadi, sangat disayangkan kalau kita
seperti mengabaikannya seolah-olah ia tidak pernah ada.
Kata
populer memang sering berkonotasi rendah. Populer selama ini diidentikkan
sebagai budaya massa. Budaya massa diyakini sebagai budaya yang sifatnya
afirmatif, dangkal, dan cenderung seragam sehingga tidak memberikan kekhasan
pada dirinya. Tanda-tanda tersebut menjadikan sastra populer bukanlah bagian
dari budaya adilihung, dan karena itu tidak layak untuk diapresiasi.
Akan
tetapi, perspektif di atas dicurigai sebagai pola pemikiran yang sangat bias
dengan cara pandang filsafat modern. Pengkategorian budaya tinggi- budaya
rendah, sastra serius-sastra populer merupakan suatu modus operandi filsafat
modern dalam usahanya menyingkirkan wacana-wacana kecil ‘mini narasi’ dari lingkaran wacana besar –
dalam bahasa Francois Lyotard grand naration - atau wacana terpusat.
Modus seperti ini pula yang diyakini Nenden Lilis (Pikiran Rakyat,
12/4/2008) menjadikan sastra populer dikesampingkan dalam wacana kesusastraan
Indonesia.
Berkembangnya pemikiran
posmodern yang salah satunya melahirkan kajian budaya (cultural studies)
menjadikan batas antara kebudayaan (sastra) tinggi dan kebudayaan (sastra)
rendah/ populer semakin kabur. Yasraf Amir Piliang (Pikiran Rakyat,
24/6/2008) mengatakan bahwa kaum posmodern berusaha mendekonstruksi benteng
pemisah antara budaya (sastra) tinggi dan budaya (sastra) massa (populer)
sehingga tercipta ruang heterogenitas dalam budaya (sastra). Dengan cara itu, sastra populer yang selama ini selalu diletakkan di luar
wilayah sastra dapat didudukan sebagaimana mestinya.
Karena itu, saat ini, kajian-kajian
terhadap novel-novel yang selama ini dikategorikan sebagai karya populer sangat
dimungkinkan. Abrams (2006) mengatakan bahwa dalam penelitian sastra, kita
dapat mengkaji karya dari empat pendekatan yaitu pendekatan objektif, mimetik,
ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan objektif melihat karya sastra dari teks an
sich. Artinya, teks sastra dipahami sebagai sesuatu yang otonom. Pada tataran
inilah unsur-unsur di dalam teks dapat dilihat dari segi estetikanya. Sementara
itu, pendekatan mimetik mengandaikan bahwa karya sastra adalah tiruan atau
representasi dari realitas. Itu artinya untuk memotret realitas pada suatu
masa, kita bisa meneliti karya sastra yang lahir pada masa itu. Dengan kata
lain, kita meneliti karya dari representasi sosiologinya. Pendekatan ekspresif
dilihat pada sisi pengarang. Yang diteliti adalah bagaimana pengarang bisa
melahirkan sebuah karya sastra. Yang terakhir adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan ini mengutamakan kemanfaatan sebuah karya sastra terhadap masyarakat
pembaca.
Jadi, jelaslah bahwa sebuah
karya sastra tidak hanya dilihat dari segi estetikanya saja, tetapi dapat
dilihat dari berbagai perspektif. Karena itu pula, novel populer menjadi sah untuk
dimasukkan ke dalam pengkajian sastra. Jika selama ini novel populer tidak
layak dijadikan kajian karena estetikanya dianggap berkadar rendah, mengacu
pada paparan di atas, pernyataan tersebut dapat dimentahkan. Selain itu, kajian
sastra tidak hanya melingkupi penelitian terhadap mutu estetika sastra saja.
Banyak hal yang bisa dikaji dari sebuah teks sastra, pun teks yang selama ini
dikategorikan sebagai teks fiksi popular. Berbegai pendekatan bisa dilakukan
terhadap objek dalam suatu penelitian.
Saya kira sebuah institusi
keilmuan – termasuk individu di dalamnya - perlu membuka diri terhadap fenomena yang
berkembang di masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, kita tidak bisa
dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Karena itu, dinamika yang terjadi di
masyarakat menjadi bagian tanggung jawab kita semua. Pernyataan yang mengatakan
bahwa tidak ada manfaatnya sama sekali meneliti sebuah novel populer adalah
sebuah pernyataan yang berangkat dari pemikiran yang terpusat. Cara pandang ini
hendaknya sudah mulai kita tinggalkan agar kita tidak ditinggalkan oleh
masyarakat itu sendiri.
Dunia keilmuan bukanlah
dunia yang terpisah dengan dunia masyarakat. Karena itu, sudah sepantasnyalah
kita membuka mata terhadap apa yang terjadi di dunia kita.
Wow...Aji melakukannya finally ...sebuah terobosan yang harus diberi jempol yang telah dilakukan oleh anak muda yang juga seorang "akademisi" jebolan dari fakultas sastra Unpad...dengan sangat jelas,lantang dan lugas memposisikan "karya sastra populer" ditempat yang layak untuk dihargai...dimana "pembiaran" ini sebenarnya sudah terjadi jauh sejak Aji...masih berstatus mahasiswa...bukan begitu Pak Aji, Bravo Kreatifitas Go...Aji Go...Fight and Win
BalasHapusWarm Regards,
Erwin Rusia 93
hehehe... terima kasih atas apresiasinya. Ini hanya sekadar menyuarakan sesuatu yang tidak diberikan kesempatan untuk bersuara, terutama di ruang akademik. Betul sekali, Pak Erwin, memang sudah lama sekali, maka pelan-pelan sikapa "pembiaran" itu berubah menjadi peduli. Go... fight... win... Sastra! (sekarang namonyo lah jadi Fakultas Ilmu Budaya, Win heheh...) Salam sukses!
BalasHapus