Selasa, 19 Februari 2013

MENGASAH NALAR DENGAN MENULIS


Seberapa banyakkah dari kita yang terlatih mengungkapkan pikiran lewat tulisan? Seberapa seringkah kita menungkan gagasan kita ke dalam tulisan? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang mudah, tetapi sulit untuk dijawab. Mengapa demikian? Karena pertanyaan ini dekat dengan kehidupan kita, tetapi keseharian kita belum tentu akrab dengannya. 

Tradisi Menulis dalam Kehidupan Kita
Tradisi menulis kita memang dianggap masih begitu muda. Kehidupan kita banyak dipengaruhi oleh tradisi lisan. Zaman dulu, semasa kecil, pada waktu kita akan tidur, orang tua kita menemani kita dengan cerita-cerita lisan. Dari cerita lisan itu, kita mendapatkan nilai-nilai moral yang mungkin masih menjadi pegangan hidup kita sampai saat ini. Maka, kita pun mengenal cerita seperti Malin Kundang, Sangkuriang, Joko Tarub, atau Si Pahit Lidah. Dalam khasanah kesusastraan pun, bentuk sastra yang pertama kali muncul dan berkembang adalah sastra lisan. Hal itu dapat dilihat dari model cerita lisan yang berkembang di berbagai daerah-daerah yang biasanya menjadi milik bersama dan diceritakan oleh seorang juru cerita. Tradisi ini terus diturunkan secara terus menerus hingga menjadi tradisi lisan. Maka, sangat umum kita temui di setiap daerah di Indonesia suburnya folklore yang menjadi salah satu bentuk kesenian rakyat. Hal itu menandakan bahwa kehidupan masyarakat kita sangat dipengaruhi oleh budaya lisan.
Tradisi tulisan adalah tradisi yang menyusul tradisi lisan. Melalui tradisi tulisan, anak-anak sekarang tidak lagi didongengkan dari cerita lisan, tetapi dari buku-buku cerita yang sudah ada. Akan tetapi, tradisi tulisan ini belum belum begitu mapan, sedangkan tradisi yang lain sudah datang dalam kehidupan kita. Banyak pengamat mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini melewati suatu era. Ketika kita masih hidup dalam budaya lisan, marak ditemukan dalam budaya kita tradisi mendongeng sebelum tidur. Namun, ketika era teknologi menyerbu kita, dengan serta merta rumah kita dipenuhi oleh suara lewat teknologi audio visual. Kalau sebelumnya (sampai era 70-an) kita banyak mendapatkan informasi dari radio, sekarang informasi hadir secara intens lewat televisi.
Akibatnya, ketika belum terlalu matang dalam budaya membaca dan menulis (tradsisi tulisan), kita sudah seperti dipaksa memasuki budaya menonton. Banyak keluhan dari para orang tua maupun guru – yang disampaikan lewat media massa - bahwa muridnya jarang membaca karena lebih disibukkan dengan tontonan film kartun di televisi. Ini mengakibatkan para murid kurang bisa menangkap pelajaran dengan baik karena tidak sempat mengulang pelajaran di rumah.
Budaya menonton membuat kita menjadi objek televisi. Sebagai objek, kita dicekoki hal-hal yang ada di televisi yang membuat kita tidak sempat berpikir secara kritis terhadap apa yang kita terima. Coba saja bayangkan, dalam sehari waktu produktif kita rata-rata 18 jam. Ternyata, selama 18 jam itu kita pun ditemani oleh televisi. Dari 18 jam tayangan itu, tidak semua tayangan membuat kita menjadi lebih pintar. Sebagian besar acara televisi justru menawarkan tayangan-tayangan yang tidak memberikan ruang untuk berpikir secara cerdas.         Hal inilah yang membedakan budaya menonton dengan budaya membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis membuat kita berdialog dengan apa yang kita baca. Membaca membuat kita menjadi subjek, sehingga dapat bertukar pandangan dengan bacaan kita. Jika selama ini buku digambarkan sebagai jendela ilmu, maka membaca adalah aktivitas memasuki ruang ilmu tersebut dan menulis adalah aktivitas menyerapnya karena menulis adalah hasil olah pikir dari proses membaca.

Membangun Kebiasaan Menulis
            Dari pengalaman saya mengajar, ada beberapa persoalan yang sering kali muncul dalam kegiatan menulis. Beberapa hal tersebut di antaranya sebagai berikut.
  1. Kita merasa kesulitan menemukan ide tulisan
  2. Kita  merasa tidak yakin dengan kemampuan menulis
  3. Kita merasa kesulitan melanjutkan tulisan
  4. Kita merasa kurang memiliki wawasan yang cukup sehingga ragu untuk menulis
  5. Kita merasa kesulitan menyelesaikan tulisan

Dalam beberapa kali kesempatan mengajar, saya sering sekali mendapatkan komentar atau pertanyaan seperti ini, “Saya belum punya ide, Pak!” atau “Saya bingung mau menulis apa!”
            Ide adalah sesuatu yang bisa muncul di mana saja. Ia ada di mana-mana. Ada pada saat kita di rumah, di bus kota, atau pada saat kita mengendarai kendaraan. Ide bisa juga muncul pada saat kita sedang membaca, memasak, berkebun, atau memeriksa tugas siswa. Hanya saja kita memang tidak dibiasakan untuk menuangkan gagasan kita ke dalam tulisan sehingga ketika dihadapkan pada keharusan untuk menulis, kita menjadi bingung dan akhirnya terlontarlah pernyataan “tidak punya ide” tersebut. Padahal, realitas yang ada di sekitar kita adalah modal ide. Semuanya investasi bagi kita untuk menulis.
            Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat mendapatkan ide tersebut? Bagaimana caranya agar pengalaman sehari-hari kita dapat berbuah menjadi ide? Jawabannya sederhana: ubahlah cara pandang. Lihatlah pengalaman sehari-hari itu sebagai peristiwa yang istimewa dan luar biasa. Misalnya begini, kita sudah terlalu sering melihat anak kecil yang mengamen di bis kota atau di perempatan jalan. Itu realitas sehari-hari yang sering kita temukan. Akan tetapi, apakah karena hal itu sesuatu yang rutin, lantas kita pun melihatnya sebagai hal yang biasa-biasa saja? Tidakkah kita tergerak untuk bertanya lebih jauh. Bukankah anak itu seharusnya berada di sekolah? Misalnya, bukankah anak usia sekolah seharusnya tidak boleh bekerja? Bukankah mereka berada di bawah lindungan pemerintah seperti yang diatur oleh undang-undang? Nah, itu sudah menjadi ide. Simpanlah ide tersebut di dalam otak kita. Atau, jika memungkinkan, tuliskan ide tersebut ke dalam buku catatan kecil. Jangan salah, beberapa penulis kenamaan tidak pernah lupa menyimpan buku catatan kecil di dalam saku setiap kali melakukan perjalanan.

Menuangkan Ide ke Dalam Tulisan
            Bagaimana setelah ide atau gagasan tersebut disimpan? Apakah kita hanya akan menyimpannya dalam otak atau dalam buku catatan kita? Tentu saja tidak. Akan sayang sekali jika harta berharga berupa gagasan itu hanya kita endapkan saja sehingga tertimbun oleh rutinitas aktivtas sehari-hari. Oleh karena itu, jangan ragu-ragu, segeralah ambil  mesin tik atau komputer, lalu tuliskanlah!
            Sebagian dari kita masih menganggap bahwa kemampuan menulis itu adalah bakat dan kita memang tidak mempunyai bakat itu. Saya kira, anggapan itu dari sekarang harus dibuang jauh-jauh. Banyak penulis mengatakan bahwa bakat hanya berpengaruh 1% saja. Selebihnya adalah usaha! Bakat mungkin ada, tetapi bakat tanpa diimbangi oleh usaha, maka itu tidak berarti apa-apa. Jadi, perlu ada keyakinan dalam diri kita bahwa jika kita mau menulis, kita bisa menulis!
            Menulis pada praktiknya memang tidak semudah dalam teori menulis. Sebagian dari kita bahkan mengalami kesulitan pada saat menulis dibandingkan menemukan ide. Ide sudah ada, tetapi sulit menuliskannya.
            Sampai saat ini, ada dua cara konvensional dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Jadi, kesulitan-kesulitan dalam membuat tulisan terangkum dalam cara kita menuangkan gagasan ke dalam tulisan.
1.      Membuat kerangka tulisan
2.      Menuliskannya secara langsung
Cara pertama biasa dilakukan sebagian besar penulis. Kerangka tulisan dibutuhkan untuk memberikan arah pada kita sehingga tulisan kita tetap terarah atau pada jalur yang kita inginkan. Menurut teori, pikiran kita lebih cepat daripada tulisan sehingga sering gerak tangan kita tidak mampu mengimbangi kecepatan pikiran kita. Akibatnya, kita kehilangan momen karena gagasan yang hendak kita tulis sudah  lenyap dan berganti dengan gagasan yang lain, yang mungkin sudah tidak berhubungan lagi tema yang sedang kita tulis.
Untuk membuat pikiran kita tetap dalam koridornya, buatlah kerangka karangan. Apa saja yang akan dituliskan sebaiknya dibuat karangka karangan. Kerangka karangan dapat ditulis dengan membuat poin-poin karangan. Poin-poin karangan dapat ditulis dalam bentuk klausa atau kalimat dan dirunutkan ke bawah. Setelah itu, menulislah berdasarkan kerangka karangan yang sudah kita buat.
Keuntungan membuat kerangka karangan ini adalah membuat pikiran kita tetap pada koridornya. Apabila gagasan kita terlalu melambung jauh dan melampaui kerangka karangan, kita dapat dengan mudah mengalihkannya kembali dan tetap fokus pada kerangka karangan yang sudah kita tulis. Dengan demikian, tulisan kita tidak melantur kemana-mana.
Sementara itu, cara kedua adalah menuliskannya secara langsung. Cara kedua ini merupakan kebalikan dari cara pertama. Sebagian penulis juga menerapkan model seperti ini. Cara kedua ini tidak menyiapkan kerangka karangan melainkan hanya berdasarkan gagasan yang ada di pikiran kita saja. 
Cara kedua ini ada karena disebabkan adanya asumsi bahwa pikiran manusia bergerak jauh lebih cepat daripada tangan. Oleh karena itu, cara terbaik adalah mengikuti gerak pikiran kita. Apa saja yang ada di dalam pikiran, tuliskan. Bagaimana jika gagasan kita terasa mandeg di tengah jalan dan kita bingung harus menulis apa lagi? Tidak masalah. Pikiran kita diibaratkan seperti air yang terus mengalir. Meskipun di depannya ada batu besar yang menghambat lajunya, air akan terus mencari celah untuk terus mengalir dan menemukan jalurnya kembali. Demikian pula pikiran kita. Meskipun kita merasa mandeg, nanti kita akan menemukan kembali gagasan kita yang jernih. Tuliskan saja soal kemandegan itu. Setelah soal-soal kemandegan itu itu sudah kita tuliskan, biasanya kita akan menemukan kembali jalur tulisan yang kita inginkan. Setelah tulisan selesai, kita lakukan pengeditan. Buanglah bagian-bagian yang menceritakan kemandegan pikiran kita dan poles sedikit sehingga tulisan kita menjadi padu kembali dan sesuai dengan tema tulisan yang kita angkat.  
Terlepas dari cara mana yang digunakan, menulis memang membutuhkan ketelatenan. Kedua cara di atas bisa diterapkan dan diujikan mana yang lebih tepat bagi kita. Sebab, pada dasarnya sangat banyak teori menulis dan semuanya baik. Akan tetapi, yang terbaik adalah yang sesuai dengan kebutuhan kita.

Penutup
            Menulis memberikan ruang bagi kita untuk mengungkapkan gagasan. Segala macam gagasan kreatif akan menemukan bentuknya ketika dituangkan dalam tulisan. Jika tadinya gagasan kreatif itu hanya tertahan di pikiran, lalu hilang seiring dengan berlalunya waktu, maka lewat tulisan, semua gagasan tersebut menjadi terwadahi.
Menulis membuat kita lebih sistematis dalam berpikir. Karena dengan menulis, kita sebenarnya telah berlatih merunutkan pikiran kita. Tidak hanya itu, menulis pun membuat keintelektualan kita menjadi lebih terasah. Seiring kita menulis, saat itu pula ketajaman berpikir kita pun semakin berkembang dan melanglang buana. Oleh karena itu, marilah kita menulis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar