Seberapa banyakkah dari kita yang terlatih
mengungkapkan pikiran lewat tulisan? Seberapa seringkah kita menungkan gagasan kita ke
dalam tulisan? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang mudah, tetapi sulit untuk
dijawab. Mengapa demikian? Karena pertanyaan ini dekat dengan kehidupan kita, tetapi keseharian kita belum tentu akrab dengannya.
Tradisi Menulis dalam Kehidupan Kita
Tradisi
menulis kita memang dianggap masih begitu muda. Kehidupan kita banyak dipengaruhi
oleh tradisi lisan. Zaman dulu, semasa kecil, pada waktu kita akan tidur, orang
tua kita menemani kita dengan cerita-cerita lisan. Dari cerita lisan itu, kita
mendapatkan nilai-nilai moral yang mungkin masih menjadi pegangan hidup kita
sampai saat ini. Maka, kita pun mengenal cerita seperti Malin Kundang,
Sangkuriang, Joko Tarub, atau Si Pahit Lidah. Dalam khasanah kesusastraan pun,
bentuk sastra yang pertama kali muncul dan berkembang adalah sastra lisan. Hal
itu dapat dilihat dari model cerita lisan yang berkembang di berbagai daerah-daerah
yang biasanya menjadi milik bersama dan diceritakan oleh seorang juru cerita. Tradisi ini terus diturunkan secara terus
menerus hingga menjadi tradisi lisan. Maka, sangat umum kita temui di setiap daerah di Indonesia suburnya folklore
yang menjadi salah satu bentuk kesenian rakyat. Hal itu menandakan
bahwa kehidupan masyarakat kita sangat dipengaruhi oleh budaya lisan.
Tradisi
tulisan adalah tradisi yang menyusul tradisi lisan. Melalui tradisi tulisan,
anak-anak sekarang tidak lagi didongengkan dari cerita lisan, tetapi dari
buku-buku cerita yang sudah ada. Akan tetapi, tradisi tulisan ini belum belum
begitu mapan, sedangkan tradisi yang lain sudah datang dalam kehidupan kita. Banyak pengamat mengatakan bahwa bangsa
Indonesia ini melewati suatu era. Ketika kita masih hidup dalam budaya lisan, marak
ditemukan dalam budaya kita tradisi mendongeng sebelum tidur. Namun, ketika era
teknologi menyerbu kita, dengan serta merta rumah kita dipenuhi oleh suara
lewat teknologi audio visual. Kalau sebelumnya (sampai era 70-an) kita banyak
mendapatkan informasi dari radio, sekarang informasi hadir secara intens lewat
televisi.
Akibatnya,
ketika belum terlalu matang dalam budaya
membaca dan
menulis (tradsisi tulisan), kita sudah
seperti
dipaksa memasuki budaya menonton. Banyak
keluhan dari para orang tua maupun guru – yang
disampaikan lewat media massa - bahwa muridnya jarang membaca karena lebih
disibukkan dengan tontonan film kartun di televisi. Ini mengakibatkan para
murid kurang bisa menangkap pelajaran dengan baik karena tidak sempat mengulang
pelajaran di rumah.
Budaya menonton membuat kita menjadi objek televisi. Sebagai objek,
kita dicekoki hal-hal yang ada di televisi yang membuat kita tidak sempat
berpikir secara kritis terhadap apa yang kita terima. Coba saja bayangkan,
dalam sehari waktu produktif kita rata-rata 18 jam. Ternyata, selama 18 jam itu kita pun ditemani
oleh televisi. Dari 18 jam tayangan itu, tidak
semua tayangan membuat kita menjadi lebih pintar. Sebagian besar acara televisi justru menawarkan tayangan-tayangan yang
tidak memberikan ruang untuk berpikir secara cerdas. Hal inilah yang
membedakan budaya menonton dengan budaya membaca dan menulis. Budaya membaca
dan menulis membuat kita berdialog dengan apa yang kita baca. Membaca membuat
kita menjadi subjek, sehingga dapat “bertukar
pandangan” dengan bacaan kita. Jika selama
ini buku digambarkan sebagai jendela ilmu, maka membaca adalah aktivitas
memasuki ruang ilmu tersebut dan menulis adalah aktivitas menyerapnya karena menulis adalah hasil olah pikir dari proses membaca.
Membangun Kebiasaan
Menulis
Dari pengalaman saya
mengajar, ada beberapa persoalan yang sering kali muncul dalam kegiatan
menulis. Beberapa hal tersebut di antaranya sebagai berikut.
- Kita merasa kesulitan menemukan ide tulisan
- Kita merasa
tidak yakin dengan kemampuan menulis
- Kita merasa kesulitan
melanjutkan tulisan
- Kita merasa kurang memiliki wawasan yang cukup sehingga ragu untuk menulis
- Kita merasa kesulitan menyelesaikan tulisan
Dalam beberapa kali
kesempatan mengajar, saya sering sekali
mendapatkan komentar atau pertanyaan seperti ini, “Saya belum punya ide, Pak!” atau “Saya bingung
mau menulis apa!”
Ide
adalah sesuatu yang bisa muncul di mana saja. Ia ada di mana-mana. Ada pada saat kita di
rumah, di bus kota, atau pada saat kita
mengendarai kendaraan. Ide bisa juga muncul
pada saat kita sedang membaca, memasak, berkebun, atau memeriksa tugas siswa.
Hanya saja kita memang tidak
dibiasakan untuk menuangkan gagasan kita ke dalam tulisan sehingga ketika dihadapkan pada keharusan untuk menulis,
kita menjadi
bingung dan akhirnya terlontarlah pernyataan “tidak punya ide” tersebut. Padahal, realitas
yang ada di sekitar kita adalah modal ide. Semuanya investasi bagi kita untuk menulis.
Lalu, bagaimana
caranya agar kita dapat mendapatkan ide tersebut? Bagaimana caranya agar pengalaman sehari-hari kita
dapat berbuah menjadi ide? Jawabannya sederhana: ubahlah cara pandang. Lihatlah pengalaman
sehari-hari itu sebagai peristiwa yang istimewa dan luar biasa. Misalnya begini, kita sudah terlalu sering
melihat anak kecil yang mengamen di bis kota atau di perempatan
jalan. Itu realitas sehari-hari yang
sering kita temukan. Akan tetapi, apakah karena hal itu sesuatu yang rutin,
lantas kita pun melihatnya sebagai hal yang biasa-biasa saja? Tidakkah kita
tergerak untuk bertanya lebih jauh. Bukankah anak itu seharusnya berada di
sekolah? Misalnya, bukankah anak
usia sekolah seharusnya tidak boleh bekerja? Bukankah mereka berada di bawah
lindungan pemerintah seperti yang diatur oleh
undang-undang? Nah, itu sudah menjadi ide. Simpanlah ide tersebut di dalam otak
kita. Atau, jika memungkinkan, tuliskan ide tersebut ke dalam buku catatan
kecil. Jangan salah, beberapa penulis kenamaan tidak pernah lupa menyimpan buku
catatan kecil di dalam saku setiap kali melakukan perjalanan.
Menuangkan Ide ke
Dalam Tulisan
Bagaimana setelah ide
atau gagasan tersebut disimpan? Apakah kita hanya akan menyimpannya dalam otak
atau dalam buku catatan kita? Tentu saja tidak. Akan sayang sekali jika harta
berharga berupa gagasan itu hanya kita endapkan saja sehingga tertimbun oleh
rutinitas aktivtas sehari-hari. Oleh karena itu, jangan ragu-ragu, segeralah
ambil mesin tik atau komputer, lalu
tuliskanlah!
Sebagian dari kita masih
menganggap bahwa kemampuan menulis itu adalah bakat dan kita memang tidak
mempunyai bakat itu. Saya kira, anggapan itu dari sekarang harus dibuang
jauh-jauh. Banyak penulis mengatakan bahwa bakat hanya berpengaruh 1% saja.
Selebihnya adalah usaha! Bakat mungkin ada, tetapi bakat tanpa diimbangi oleh
usaha, maka itu tidak berarti apa-apa. Jadi, perlu ada keyakinan dalam diri
kita bahwa jika kita mau menulis, kita bisa menulis!
Menulis pada praktiknya memang tidak semudah dalam teori menulis.
Sebagian dari kita bahkan mengalami kesulitan pada saat menulis dibandingkan
menemukan ide. Ide sudah ada, tetapi sulit menuliskannya.
Sampai saat ini, ada dua
cara konvensional dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Jadi,
kesulitan-kesulitan dalam membuat tulisan terangkum dalam cara kita menuangkan
gagasan ke dalam tulisan.
1. Membuat kerangka tulisan
2. Menuliskannya secara langsung
Cara pertama biasa dilakukan sebagian besar penulis.
Kerangka tulisan dibutuhkan untuk memberikan arah pada kita sehingga tulisan
kita tetap terarah atau pada jalur yang kita inginkan. Menurut teori, pikiran
kita lebih cepat daripada tulisan sehingga sering gerak tangan kita tidak mampu
mengimbangi kecepatan pikiran kita. Akibatnya, kita kehilangan momen karena
gagasan yang hendak kita tulis sudah
lenyap dan berganti dengan gagasan yang lain, yang mungkin sudah tidak
berhubungan lagi tema yang sedang kita tulis.
Untuk membuat pikiran kita tetap dalam koridornya,
buatlah kerangka karangan. Apa saja yang akan dituliskan sebaiknya dibuat
karangka karangan. Kerangka karangan dapat ditulis dengan membuat poin-poin
karangan. Poin-poin karangan dapat ditulis dalam bentuk klausa atau kalimat dan
dirunutkan ke bawah. Setelah itu, menulislah berdasarkan kerangka karangan yang
sudah kita buat.
Keuntungan membuat kerangka karangan ini adalah membuat
pikiran kita tetap pada koridornya. Apabila gagasan kita terlalu melambung jauh
dan melampaui kerangka karangan, kita dapat dengan mudah mengalihkannya kembali
dan tetap fokus pada kerangka karangan yang sudah kita tulis. Dengan demikian,
tulisan kita tidak melantur
kemana-mana.
Sementara itu, cara kedua adalah menuliskannya
secara langsung. Cara kedua ini merupakan kebalikan dari cara pertama. Sebagian
penulis juga menerapkan model seperti ini. Cara kedua ini tidak menyiapkan
kerangka karangan melainkan hanya berdasarkan gagasan yang ada di pikiran kita
saja.
Cara kedua ini ada karena disebabkan adanya asumsi
bahwa pikiran manusia bergerak jauh lebih cepat daripada tangan. Oleh karena
itu, cara terbaik adalah mengikuti gerak pikiran kita. Apa saja yang ada di
dalam pikiran, tuliskan. Bagaimana jika gagasan kita terasa mandeg di tengah
jalan dan kita bingung harus menulis apa lagi? Tidak masalah. Pikiran kita
diibaratkan seperti air yang terus mengalir. Meskipun di depannya ada batu
besar yang menghambat lajunya, air akan terus mencari celah untuk terus
mengalir dan menemukan jalurnya kembali. Demikian pula pikiran kita. Meskipun
kita merasa mandeg, nanti kita akan menemukan kembali gagasan kita yang jernih.
Tuliskan saja soal kemandegan itu. Setelah soal-soal kemandegan itu itu sudah
kita tuliskan, biasanya kita akan menemukan kembali jalur tulisan yang kita
inginkan. Setelah tulisan selesai, kita lakukan pengeditan. Buanglah
bagian-bagian yang menceritakan kemandegan pikiran kita dan poles sedikit
sehingga tulisan kita menjadi padu kembali dan sesuai dengan tema tulisan yang
kita angkat.
Terlepas dari cara mana yang digunakan, menulis
memang membutuhkan ketelatenan. Kedua cara di atas bisa diterapkan dan diujikan
mana yang lebih tepat bagi kita. Sebab, pada dasarnya sangat banyak teori
menulis dan semuanya baik. Akan tetapi, yang terbaik adalah yang sesuai dengan
kebutuhan kita.
Penutup
Menulis memberikan ruang bagi kita untuk mengungkapkan gagasan. Segala macam gagasan kreatif akan menemukan bentuknya ketika dituangkan
dalam tulisan. Jika tadinya gagasan kreatif itu hanya
tertahan di pikiran, lalu hilang seiring dengan berlalunya waktu, maka lewat
tulisan, semua gagasan tersebut menjadi
terwadahi.
Menulis membuat kita lebih sistematis dalam
berpikir. Karena dengan menulis, kita sebenarnya telah berlatih merunutkan
pikiran kita. Tidak hanya itu, menulis pun membuat keintelektualan kita menjadi lebih terasah. Seiring kita
menulis, saat itu pula ketajaman berpikir kita pun
semakin berkembang dan melanglang buana. Oleh karena itu,
marilah kita menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar