Sabtu, 09 Maret 2013

Pengalaman di Serbia 2: Makan Malam Yang Berkesan


Tulisan ini didedikasikan untuk para perempuan di dunia. Selamat hari perempuan sedunia.


Suatu hari saya diundang oleh Bu Tijana, salah satu murid yang belajar bahasa Indonesia di KBRI Beograd, untuk makan malam di rumahnya. Hari itu adalah Hari Saint Nikola, peringatan hari Saint keluarga. Hari Saint Nikola adalah hari Kudus keluarga Bu Tijana. Di Serbia terdapat banyak Saint, tetapi hanya satu yang diikuti oleh suatu keluarga. Jadi sangat mungkin satu keluarga di memiliki Saint yang berbeda dengan keluarga yang lainnya. Menurut cerita, Saint Nikola adalah adalah Saint terbesar di Serbia.

Saya berangkat dengan Bu Mirjana. Hari Saint keluarga Bu Mirjana sudah lewat pada bulan Oktober yang lalu, sehingga hari itu ia dapat memenuhi undangan Bu Tijana. Kami janji bertemu di halte bus tidak jauh dari rumah Bu Tijana. Masih musim gugur ketika itu. Angin masih bertiup kencang seperti hari-hari sebelumnya dan menusuk kulit. Jaket tebal yang saya pakai rasanya masih tak cukup kuat menahan serbuan angin dingin. Di musim gugur, rasanya memang lebih nikmat jika menghabiskan waktu di dalam rumah. Siang hari menjadi lebih pendek di musim gugur sehingga waktu cepat sekali beranjak malam. Pukul empat sore matahari sudah menghilang dan berpindah ke belahan bumi yang lain. Karena itu, di musim gugur jalanan terasa lebih sepi dibandingkan dengan musim panas. Untunglah tak cukup butuh waktu lama bertemu Bu Mirjana di halte bus sehingga kami bisa segera berangkat ke rumah Bu Tijana.



Jalan-jalan yang sering saya lewati
Bu Tijana dan Bu Mirjana adalah murid saya di KBRI. Mereka belajar di kelas umum, setiap Selasa dan Kamis sore. Mereka murid tertua di kelas. Bu Tijana berumur 78 tahun, sedangkan Bu Mirjana berusia 63 tahun. Meskipun usia mereka paling tua, semangat belajar mereka sangat luar biasa. Mereka hampir tidak pernah absen di kelas. Meskipun dengan cuaca di musim gugur yang tidak bersahabat sekali pun. Itu yang saya kagumi dari mereka. Mereka pergi-pulang belajar naik bus. Hampir tiap Kamis sore, hari saya mengajar bahasa Indonesia di Universitas Beograd, saya naik bus bersama mereka karena kebetulan arah yang kami tuju sama. Menyenangkan sekali rasanya mengobrol dengan mereka dalam bahasa gado-gado: Indonesia, Inggris, dan Serbia. Saya menyadari, kadang-kadang banyak yang memperhatikan kami dengan rasa ingin tahu.

Akhirnya, setelah berjalam kurang lebih 300 meter, kami menemukan apartemen Bu Tijana. Apartemen Bu Tijana terletak di lantai 2. Apartemennya tidak terlalu besar. Hanya ada ruang makan yang sekaligus menjadi ruang tamu, dapur kecil yang tidak jauh dari meja makan, serta dua kamar tidur.

Bu Tijana menyambut kami seorang diri. Ia tampak sangat bahagia ketika menerima kami. Saya pikir hari ini ia pasti sangat berbahagia. Bajunya berwarna merah muda dan berbahan lembut. Ia tampak makin lebih muda dari usia yang sebenarnya. Ia membukakan jaket kami. Saya dengar ini memang ciri khas orang Eropa untuk menyambut tamunya.  Di meja ada kue besar, lilin, dan kue gandum. Itu ciri khas Slava, kata Bu Mirjana kepada saya, untuk menyebut hari Saint. Dan setiap tamu harus memakan kue gandum itu minimal satu sendok. 


Makan malam yang spesial
Bu Mirjana menyerahkan bingkisan dan karangan bunga kepada Bu Tijana. Katanya pada saya, saat Bu Tijana sibuk menyiapkan makanan, itu adalah kebiasaan tamu jika datang ke rumah pengundang. Bingkisan itu berupa wine merah. Ketika pulang tadi, saya jadi memperhatikan beberapa orang yang membawa bingkisan dan karangan bunga. Saya langsung tahu bahwa mereka akan datang ke rumah orang yang merayakan Slava. Lalu kami pun diminta duduk oleh Bu Tijana. Sambil menyiapkan makan malam kami, ia memutar piringan hitam. Dan lagu yang diputar adalah lagu Indonesia. Yang masih saya ingat adalah lirik yang dimulai “jangan ditanya kemana aku pergi.... “ dan “Mari pulang... Marilah pulang... marilah pulang... bersama-sama” Ia lalu menunjukkan kepada saya cover pirangan hitam tersebut. Beberapa lagu saya kenal, tetapi tidak ada penyanyi yang saya kenal.  Satu lagi lagi cover piringan hitam ia sodorkan. Dan saya terkejut, ada judul lagu “Genjer-Genjer” di dalam daftar lagunya. Cerita yang tidak pernah saya ketahui bahwa lagu tersebut pada masanya sama seperti lagu pada umumnya. Yang saya tahu, lagu “Genjer-Genjer” hanya dimitoskan sebagai lagu yang dinyanyikan oleh para Gerwani ketika mereka menyiksa para jendral di Lubang Buaya. Betapa mudahnya sejarah dibuat dan diciptakan...

2 perempuan hebat

Bu Mirjana dan Bu Tijana juga memberi saya bingkisan, sebuah buku tentang sejarah Beograd. “Supaya Mas Adji selalu teringat terus dengan Beograd, seperti kami yang selalu teringat terus dengan Indonesia,” kata Bu Mirjana. Betapa uniknya kehidupan ini.  Mereka berdua pernah tinggal di Indonesia. Bu Tijana datang ke Indonesia tanggal 27 September 1965, 3 hari sebelum peristiwa G30 S PKI, dan tinggal di Indonesia sampai tahun 1970. Bu Mirjana pernah tinggal dan bekerja di Indonesia tahun 1977 sampai tahun 1982. Keduanya sangat mencintai Indonesia dan selalu rindu pada masa-masa saat mereka tinggal di Jakarta. Dan mereka berharap saya juga akan merindukan Beograd. Bu Tijana, dengan mata yang berbinar-binar serta berkaca-kaca, berkata bahwa Indonesia adalah kenangan terindah yang ia punya. Ia datang ke Indonesia bersama suaminya, sebulan setelah mereka menikah. Dan kini ia tinggal sendiri. Ia tidak punya anak dan suaminya sudah meninggal. Yang ada sekarang adalah sepupunya, pada siapa apartemennya akan ia wariskan. Mengingat itu, saya selalu merasa kagum dan begitu menghormatinya, betapa ia tetap dapat bertahan hidup dalam kesendiriannya. Mungkin ia dapat memenuhi kesendiriannya itu dengan caranya sendiri. Di rumahnya, ia menyewakan satu kamarnya pada seorang mahasiswa Universitas Beograd. Anak muda itu baru datang ketika kami akan mengakhiri makan malam itu. Syukurlah, paling tidak ia memiliki teman di hari tuanya ini.  


Kado yang tidak terlupakan
Ia memasak dalam jumlah yang banyak untuk kami. Kata Bu Mirjana, saya tidak perlu khawatir karena selama Slava, mereka juga dilarang makan daging, telur, dan susu. Jadi makanan yang disajikan semuanya halal. Malam itu ia memasak ikan, paprika bakar, dan nasi goreng. Saya makan cukup banyak karena saya sudah lama tidak makan ikan dan juga nasi goreng. Kami cukup lama mengobrol. Kadang-kadang mereka berbicara dengan saya menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia. Biasanya mereka berbicara tentang Indonesia dan kenangan yang tertinggal di sana. Kadang-kadang mereka berbicara dalam bahasa Serbia. Biasanya tentang politik negeri mereka saat ini, begitu kata Bu Mirjana kepada saya. Saya kagum pada mereka, yang di usia mereka seperti ini, masih memiliki perhatian pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan politik negara mereka. Mungkin itu yang membuat mereka tampak masih tetap terasah daya analisisnya. Saya hanya bisa menaruh kagum pada mereka.

Semakin mengenal perempuan-perempuan yang kuat ini, saya semakin mencintai Serbia. Semakin ingin mengenal budaya yang mereka miliki. Entahlah, mungkin suatu saat saya memiliki kesempatan untuk datang ke sini lagi. 



Bersama dua perempuan yang saya kagumi

Rabu, 27 Februari 2013

Pengalaman di Serbia (1): Mengenal Kota Beograd


tulisan ini pernah dimunculkan di Kompasiana dan saya munculkan kembali untuk mengenang perjalanan hidup  saya selama 6 bulan di Beograd, Serbia.

Beograd adalah kota yang bersahabat bagi yang mencintai sejarah. Sepanjang jalan deretan gedung-gedung tua dengan warna kelabu memenuhi pandangan mata. Sungguh, suatu kenikmatan yang terkira ketika kita dapat memanjakan mata kita dengan peradaban masa lalu yang masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Bahkan, beberapa gedung yang puncaknya rusak karena serang NATO tetap dibiarkan dalam kondisi aslinya. Bersanding apik dengan gedung baru di sebelahnya. Toh, gedung-gedung berarsitektur modern yang ada juga tidak diperkenankan berdiri menjulang dengan angkuh. Gedung-gedung baru itu tidak lebih dari 5-6 lantai sehingga mereka tampak setara dengan gedung-gedung tua.



Beberapa gedung tua di tengah lalu lintas yang sedikit lengang 


Bagi yang menyukai berjalan kaki, Beograd juga memberikan kenyamanan. Jalur pedestrian di kanan kiri jalan dibuat  lapang. Orang dapat dengan santai berjalan kaki tanpa harus beradu tubuh orang lain. Jalan raya juga dibuat luas dengan lalu lintas mobil tidak terlalu padat, motor pun hanya satu dua yang lewat. Hampir di setiap area, ada taman kota di mana kita bisa duduk-duduk santai dengan nyaman, sambil menikmati matahari sore musim panas. Jarak antartaman juga tidak begitu jauh sehingga membuat kota ini betul-betul nyaman untuk manusia tinggal.

Lupakan dunia mall. Di sini mungkin kita hanya menemukan satu atau dua saja mall besar. Dari setiap obrolan dengan orang-orang yang tinggal di sini, hampir semuanya menyebutkan USCE sebagai mall yang menyediakan berbagai macam kebutuhan. Letaknya di New Beograd. Saya kebetulan tinggal di Old Beograd yang dipisahkan dengan jembatan yang membelah Sungai Sava. Selebihnya hanya terdapat mini market-mini market yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Jadi, Beograd cukup ramah dengan kantong karena tidak membuat orang sering-sering pergi ke Mall.

Bagi yang suka nongkrong, tampaknya kota ini memang sangat tepat untuk Anda. Hampir di setiap jalan raya, ada saja barisan kafe di pinggir jalan yang selalu ramai oleh orang-orang. Terlebih pada musim panas. Dan itu berlangsung setiap hari, tidak selalu harus pada akhir pekan. Cukup dengan secangkir kopi turki, mereka bisa berlama-lama duduk mengobrol panjang lebar dengan teman-teman mereka menikmati sinar matahari sampai menjelang terbenam.

salah satu taman kota pada musim gugur

salah satu bagian tengah kota Beograd

Alun-alun kota Beograd yang dipenuhi orang pada musim panas