Tulisan
ini didedikasikan untuk para perempuan di dunia. Selamat hari perempuan
sedunia.
Suatu hari saya
diundang oleh Bu Tijana, salah satu murid yang belajar bahasa Indonesia di KBRI
Beograd, untuk makan malam di rumahnya. Hari itu adalah Hari Saint Nikola,
peringatan hari Saint keluarga. Hari Saint Nikola adalah hari Kudus keluarga Bu
Tijana. Di Serbia terdapat banyak Saint, tetapi hanya satu yang diikuti oleh
suatu keluarga. Jadi sangat mungkin satu keluarga di memiliki Saint yang
berbeda dengan keluarga yang lainnya. Menurut cerita, Saint Nikola adalah
adalah Saint terbesar di Serbia.
Saya berangkat dengan Bu
Mirjana. Hari Saint keluarga Bu Mirjana sudah lewat pada bulan Oktober yang lalu,
sehingga hari itu ia dapat memenuhi undangan Bu Tijana. Kami janji bertemu di
halte bus tidak jauh dari rumah Bu Tijana. Masih musim gugur ketika itu. Angin
masih bertiup kencang seperti hari-hari sebelumnya dan menusuk kulit. Jaket
tebal yang saya pakai rasanya masih tak cukup kuat menahan serbuan angin
dingin. Di musim gugur, rasanya memang lebih nikmat jika menghabiskan waktu di
dalam rumah. Siang hari menjadi lebih pendek di musim gugur sehingga waktu
cepat sekali beranjak malam. Pukul empat sore matahari sudah menghilang dan
berpindah ke belahan bumi yang lain. Karena itu, di musim gugur jalanan terasa
lebih sepi dibandingkan dengan musim panas. Untunglah tak cukup butuh waktu lama
bertemu Bu Mirjana di halte bus sehingga kami bisa segera berangkat ke rumah Bu
Tijana.
Jalan-jalan yang sering saya lewati |
Bu Tijana dan Bu
Mirjana adalah murid saya di KBRI. Mereka belajar di kelas umum, setiap Selasa
dan Kamis sore. Mereka murid tertua di kelas. Bu Tijana berumur 78 tahun,
sedangkan Bu Mirjana berusia 63 tahun. Meskipun usia mereka paling tua,
semangat belajar mereka sangat luar biasa. Mereka hampir tidak pernah absen di
kelas. Meskipun dengan cuaca di musim gugur yang tidak bersahabat sekali pun. Itu
yang saya kagumi dari mereka. Mereka pergi-pulang belajar naik bus. Hampir tiap
Kamis sore, hari saya mengajar bahasa Indonesia di Universitas Beograd, saya
naik bus bersama mereka karena kebetulan arah yang kami tuju sama. Menyenangkan
sekali rasanya mengobrol dengan mereka dalam bahasa gado-gado: Indonesia,
Inggris, dan Serbia. Saya menyadari, kadang-kadang banyak yang memperhatikan
kami dengan rasa ingin tahu.
Akhirnya, setelah
berjalam kurang lebih 300 meter, kami menemukan apartemen Bu Tijana. Apartemen Bu
Tijana terletak di lantai 2. Apartemennya tidak terlalu besar. Hanya ada ruang
makan yang sekaligus menjadi ruang tamu, dapur kecil yang tidak jauh dari meja
makan, serta dua kamar tidur.
Bu Tijana menyambut kami
seorang diri. Ia tampak sangat bahagia ketika menerima kami. Saya pikir hari
ini ia pasti sangat berbahagia. Bajunya berwarna merah muda dan berbahan
lembut. Ia tampak makin lebih muda dari usia yang sebenarnya. Ia membukakan jaket
kami. Saya dengar ini memang ciri khas orang Eropa untuk menyambut tamunya. Di meja ada kue besar, lilin, dan kue gandum.
Itu ciri khas Slava, kata Bu Mirjana kepada saya, untuk menyebut hari Saint.
Dan setiap tamu harus memakan kue gandum itu minimal satu sendok.
Makan malam yang spesial |
Bu Mirjana menyerahkan
bingkisan dan karangan bunga kepada Bu Tijana. Katanya pada saya, saat Bu
Tijana sibuk menyiapkan makanan, itu adalah kebiasaan tamu jika datang ke rumah
pengundang. Bingkisan itu berupa wine merah. Ketika pulang tadi, saya jadi
memperhatikan beberapa orang yang membawa bingkisan dan karangan bunga. Saya
langsung tahu bahwa mereka akan datang ke rumah orang yang merayakan Slava.
Lalu kami pun diminta duduk oleh Bu Tijana. Sambil menyiapkan makan malam kami,
ia memutar piringan hitam. Dan lagu yang diputar adalah lagu Indonesia. Yang
masih saya ingat adalah lirik yang dimulai “jangan ditanya kemana aku pergi....
“ dan “Mari pulang... Marilah pulang... marilah pulang... bersama-sama” Ia lalu
menunjukkan kepada saya cover pirangan hitam tersebut. Beberapa lagu saya
kenal, tetapi tidak ada penyanyi yang saya kenal. Satu lagi lagi cover piringan hitam ia
sodorkan. Dan saya terkejut, ada judul lagu “Genjer-Genjer” di dalam daftar
lagunya. Cerita yang tidak pernah saya ketahui bahwa lagu tersebut pada masanya
sama seperti lagu pada umumnya. Yang saya tahu, lagu “Genjer-Genjer” hanya dimitoskan
sebagai lagu yang dinyanyikan oleh para Gerwani ketika mereka menyiksa para
jendral di Lubang Buaya. Betapa mudahnya sejarah dibuat dan diciptakan...
2 perempuan hebat |
Bu Mirjana dan Bu
Tijana juga memberi saya bingkisan, sebuah buku tentang sejarah Beograd.
“Supaya Mas Adji selalu teringat terus dengan Beograd, seperti kami yang selalu
teringat terus dengan Indonesia,” kata Bu Mirjana. Betapa uniknya kehidupan
ini. Mereka berdua pernah tinggal di
Indonesia. Bu Tijana datang ke Indonesia tanggal 27 September 1965, 3 hari
sebelum peristiwa G30 S PKI, dan tinggal di Indonesia sampai tahun 1970. Bu
Mirjana pernah tinggal dan bekerja di Indonesia tahun 1977 sampai tahun 1982. Keduanya
sangat mencintai Indonesia dan selalu rindu pada masa-masa saat mereka tinggal
di Jakarta. Dan mereka berharap saya juga akan merindukan Beograd. Bu Tijana,
dengan mata yang berbinar-binar serta berkaca-kaca, berkata bahwa Indonesia
adalah kenangan terindah yang ia punya. Ia datang ke Indonesia bersama
suaminya, sebulan setelah mereka menikah. Dan kini ia tinggal sendiri. Ia tidak
punya anak dan suaminya sudah meninggal. Yang ada sekarang adalah sepupunya,
pada siapa apartemennya akan ia wariskan. Mengingat itu, saya selalu merasa
kagum dan begitu menghormatinya, betapa ia tetap dapat bertahan hidup dalam
kesendiriannya. Mungkin ia dapat memenuhi kesendiriannya itu dengan caranya
sendiri. Di rumahnya, ia menyewakan satu kamarnya pada seorang mahasiswa
Universitas Beograd. Anak muda itu baru datang ketika kami akan mengakhiri
makan malam itu. Syukurlah, paling tidak ia memiliki teman di hari tuanya ini.
Kado yang tidak terlupakan |
Ia memasak dalam jumlah
yang banyak untuk kami. Kata Bu Mirjana, saya tidak perlu khawatir karena
selama Slava, mereka juga dilarang makan daging, telur, dan susu. Jadi makanan
yang disajikan semuanya halal. Malam itu ia memasak ikan, paprika bakar, dan
nasi goreng. Saya makan cukup banyak karena saya sudah lama tidak makan ikan
dan juga nasi goreng. Kami cukup lama mengobrol. Kadang-kadang mereka berbicara
dengan saya menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia. Biasanya mereka berbicara
tentang Indonesia dan kenangan yang tertinggal di sana. Kadang-kadang mereka
berbicara dalam bahasa Serbia. Biasanya tentang politik negeri mereka saat ini,
begitu kata Bu Mirjana kepada saya. Saya kagum pada mereka, yang di usia mereka
seperti ini, masih memiliki perhatian pada hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan politik negara mereka. Mungkin itu yang membuat mereka tampak masih
tetap terasah daya analisisnya. Saya hanya bisa menaruh kagum pada mereka.
Semakin mengenal perempuan-perempuan
yang kuat ini, saya semakin mencintai Serbia. Semakin ingin mengenal budaya
yang mereka miliki. Entahlah, mungkin suatu saat saya memiliki kesempatan untuk
datang ke sini lagi.
Bersama dua perempuan yang saya kagumi |