Rabu, 27 Februari 2013

Pengalaman di Serbia (1): Mengenal Kota Beograd


tulisan ini pernah dimunculkan di Kompasiana dan saya munculkan kembali untuk mengenang perjalanan hidup  saya selama 6 bulan di Beograd, Serbia.

Beograd adalah kota yang bersahabat bagi yang mencintai sejarah. Sepanjang jalan deretan gedung-gedung tua dengan warna kelabu memenuhi pandangan mata. Sungguh, suatu kenikmatan yang terkira ketika kita dapat memanjakan mata kita dengan peradaban masa lalu yang masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Bahkan, beberapa gedung yang puncaknya rusak karena serang NATO tetap dibiarkan dalam kondisi aslinya. Bersanding apik dengan gedung baru di sebelahnya. Toh, gedung-gedung berarsitektur modern yang ada juga tidak diperkenankan berdiri menjulang dengan angkuh. Gedung-gedung baru itu tidak lebih dari 5-6 lantai sehingga mereka tampak setara dengan gedung-gedung tua.



Beberapa gedung tua di tengah lalu lintas yang sedikit lengang 


Bagi yang menyukai berjalan kaki, Beograd juga memberikan kenyamanan. Jalur pedestrian di kanan kiri jalan dibuat  lapang. Orang dapat dengan santai berjalan kaki tanpa harus beradu tubuh orang lain. Jalan raya juga dibuat luas dengan lalu lintas mobil tidak terlalu padat, motor pun hanya satu dua yang lewat. Hampir di setiap area, ada taman kota di mana kita bisa duduk-duduk santai dengan nyaman, sambil menikmati matahari sore musim panas. Jarak antartaman juga tidak begitu jauh sehingga membuat kota ini betul-betul nyaman untuk manusia tinggal.

Lupakan dunia mall. Di sini mungkin kita hanya menemukan satu atau dua saja mall besar. Dari setiap obrolan dengan orang-orang yang tinggal di sini, hampir semuanya menyebutkan USCE sebagai mall yang menyediakan berbagai macam kebutuhan. Letaknya di New Beograd. Saya kebetulan tinggal di Old Beograd yang dipisahkan dengan jembatan yang membelah Sungai Sava. Selebihnya hanya terdapat mini market-mini market yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Jadi, Beograd cukup ramah dengan kantong karena tidak membuat orang sering-sering pergi ke Mall.

Bagi yang suka nongkrong, tampaknya kota ini memang sangat tepat untuk Anda. Hampir di setiap jalan raya, ada saja barisan kafe di pinggir jalan yang selalu ramai oleh orang-orang. Terlebih pada musim panas. Dan itu berlangsung setiap hari, tidak selalu harus pada akhir pekan. Cukup dengan secangkir kopi turki, mereka bisa berlama-lama duduk mengobrol panjang lebar dengan teman-teman mereka menikmati sinar matahari sampai menjelang terbenam.

salah satu taman kota pada musim gugur

salah satu bagian tengah kota Beograd

Alun-alun kota Beograd yang dipenuhi orang pada musim panas



























Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (4)


4. Jejak Nasionalisme pada Tokoh Ali Topan, Lupus, dan Balada Si Roy

Merekam jejak nasionalisme pada setiap zaman tentu bukanlah merupakan suatu usaha yang mudah. Hal ini dapat dipahami karena setiap zaman memiliki persepsi masing-masing mengenai sikap kebangsaan. Jadi, dapat saja dalam implementasinya persepsi tentang nasionalisme tersebut berubah-ubah atau bergerak secara dinamis sesuai dengan tafsiran zamannya.

Tiga tokoh remaja yang dijadikan objek penelitian ini merupakan tokoh yang lahir dari zaman yang berbeda. Ali Topan adalah representasi tokoh remaja tahun 70-an, saat terjadi masa transisi perubahan arah kepemimpinan nasional Indonesia. Sementara itu, Lupus dan Roy adalah representasi remaja 80-an saat kepemimpinan nasional (Soeharto) mulai menapaki tingkat kematangannya (lihat pengantar Dhakidae dalam Imagined Communities). Dilihat dari sisi waktu, kedua tokoh terakhir merupakan tokoh yang lahir bersamaan. Akan tetapi,  itu tidak menjamin bahwa kedua tokoh tersebut memiliki perspektif yang sama mengenai nasionalisme. Ketiga novel ini memiliki kunci yang sama: meskipun lahir dalam generasi yang berbeda-beda, ketiga novel tersebut lahir pada masa Orde Baru. Hanya saja, meminjam bahasa Dhakidae, perbeda annya terletak pada tingkat pengerasan kekuasaan Orde Baru terhadap rakyat Indonesia yang berbeda-beda.

Ali Topan adalah remaja yang lahir pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Tokoh ini menjadi representasi remaja pada tahun 70-an. Novel Ali Topan Anak Jalanan menggambarkan realitas sosial keluarga kelas atas Jakarta yang merupakan poros transisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah teks, novel ini dengan jeli mengangkat kehidupan kota metropolitan yang mulai tersentuh oleh nilai-nilai baru: materialisme, hedonisme, dan tergerusnya nilai-nilai moral. 

Novel ini terbit pada 1977, ketika pemerintahan Orde Baru masih menata diri setelah konflik ideologis yang terjadi pada 1965-an. Jika disimak lebih jauh lagi, ada kemungkinan pada masa itu Indonesia sedang menapaki  model perekonomian yang dicanangkan Soeharto yang dikenal dengan politik ekonomi pembangunan. Pada masa itu, investasi mulai digalakkan, perekomian bergerak setahap demi setahap dengan program pemerintah yang dikenal dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Akan tetapi, pembangunan ekonomi ini ada konsekuensinya: stabilitas politik diperkuat agar tidak mengganggu perekonomian Indonesia yang sedang berkembang. Berkembangnya perekonomian tersebut tampak dari berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kota Jakarta. Produk-produk teknologi dari luar negeri masuk dengan mudah ke Indonesia sehingga dikonsumsi oleh masyarakat Jakarta. Hal itu terlihat dari kutipan di bawah ini.
           
“He, Bajingan!” seorang pengendara Toyota Corolla 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampir ditubruknya (hlm. 2)

            Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan CS. (hlm.3)

            Ketika Dudung mengunjunginya pertama kali  pada suatu malam Minggu,  di rumah Meiske itu berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngos-ngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng Remember Me. (hlm. 211)

Pada kutipan di atas, merek-merek mobil keluaran luar negeri dengan berbagai tipe menjadi kosakata biasa. Hal ini menandakan bahwa merek-merek mobil tersebut sudah menjadi konsumsi dan bagian dari gaya hidup bangsa Indonesia pada masa itu. Akan tetapi, kemakmuran tersebut diakui tokoh tidak terlepas dari hutang pemerintah Indonesia kepada pihak asing. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal itu.

“Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak, macks?” kata Gevaert, “yang penting kan bayar. Pemerintah kita kan juga suka ngutang sama IGGI,” tambahnya. (hlm. 29)

IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) adalah kelompok negara pendonor yang diketuai Belanda, yang membantu pembangunan Indonesia selama periode 1967-1991 (Usman, suryaonline.co.id). Pada saat itu, Indonesia dalam masa pembangunan sehingga banyak menggantungkan keuangan negara dengan melakukan pinjaman pada IGGI. Menurut Usman, terbentuknya lembaga ini diawali dengan keberhasilan pemerintah Indonesia menggalang dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam forum Paris Club. Setelah itu, muncullah gagasan akan perlunya suatu forum antarpemerintah yang memberikan dukungan baik dana pinjaman maupun pemikiran terhadap arah pembangunan Indonesia. hal itulah yang membuat perekonomian Indonesia berangsur-angsur membaik.

Penggalan percakapan di atas bukan hanya sebatas deskripsi, tetapi juga menyiratkan sebuah kritik terhadap pemerintah Indonesia. Dari sinilah, mulai tergambar penokohan Ali Topan. Ali Topan digambarkan sebagai sosok yang cerdas sekaligus pembangkang.  Hal itu tampak dari kutipan-kutipan di bawah ini.
           
Buat Ali Topan tak sulit mengggarap soal ulangan itu. Ali Topan adalah murid terpandai di sekolahnya sejak kelas satu dulu. Kecerdasannya di atas rata-rata anak seusianya….. Teman-teman bahkan gurunya heran, bagaimana mungkin anak berandal yang tak pernah terlihat belajar, tampak santai di sekolah itu dapat menjadi murid terpandai di sekolah… (hlm. 69)

            …. Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku. Ada buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku karya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden pertama Republik Indonesia itu. Ada buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesia lama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa.… Di antara buku-buku itu terkadang ada buku stensilan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukup mengasyikkan! (hlm. 42).

Gambaran di atas memberikan identitas Ali Topan yang kompleks. Ia penyuka buku-buku populer, tetapi ia juga pembaca buku-buku yang membutuhkan tingkat pembacaan yang tinggi. Keberadaan buku-buku Soekarno dan Niccolo Machiavelli juga menandakan pemerintahan Orde Baru yang masih muda, sehingga pengawasan sosial terhadap masyarakat masih belum begitu ketat. Bandingkan misalnya dengan pengawasan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer pada tahun 80-an ketika karya tetralogi Pulau Buru dilarang terbit. Keberadaan buku-buku Soekarno itu yang dikaitkan dengan tokoh utama dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk penolakan Ali Topan pada realitas (sistem) sosial pada masa itu yang semakin kental dengan nuansa kapitalisme.

Bentuk penolakan tersebut semakin tampak pada perilakunya yang hobi mengebut di jalanan, melakukan pembangkangan terhadap norma-norma yang diatur di rumahnya, serta mangkir terhadap aturan-aturan sekolahnya. Tampaknya, dengan cara itu Ali Topan melakukan kritik terhadap sistem sosial yang ada. Jika dikaitkan dengan sikap kebangsaan, nasionalisme pada diri Ali Topan berwujud pada ketidaksepakatannya pada tatanan nilai bangsa yang dianggapnya semakin melenceng dari nilai-nilai luhur.

Hal lain yang menarik bagi penulis adalah kutipan di bawah ini. 

“Komisinya berapa prosen?”
“Tin persen,” kata Ali Topan, “mau diambil sekarang uang mukanya juga boleh,” tambahnya sambil tersenyum.  (hlm. 89)

Kutipan di atas adalah dialog yang bercampur guyonan antara Ali Topan dan Maya, teman sekolahnya. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, kata tin seharusnya ditulis ten. Ungkapan “tim persen” mengasosiasikan pada ungkapan “Madame tien percent”, sebuah istilah yang mencuat ketika Siti Suhartinah Soeharto – lebih dikenal dengan nama Tien Soeharto – terlibat penuh dalam proyek mercusuar “bangsa” Indonesia: Taman Mini Indonesia Indah.  Proyek besar yang ini pada saat itu mendapat penentangan yang keras, terutama dari mahasiswa yang membuat Soeharto marah karena erasa dilecehkan setelah berbuat segalanya demi kepentingan “bangsa” (lihat Dhakidae dalam pengantar Imagined Communitites).

Sama seperti Ali Topan, Lupus adalah sosok remaja Jakarta yang dibesarkan pada tahun ‘80-an. Novel serial ini mengangkat cerita kehidupan Lupus, sosok remaja yang selalu ceria, indah dan menyenangkan. Kisah-kisah humoris dengan bahasa gaul anak remaja, menggambarkan kehidupan anak SMA yang ringan—tanpa beban.

Keluarga Lupus termasuk ke dalam kelas menengah. Ibunya memiliki usaha katering untuk menghidupi keluarga setelah ayah Lupus meninggal. Namun, lingkungan sekolah Lupus mengetengahkan realitas ekonomi yang beragam, dari  kelas menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosial Lupus dan teman-temannya menjadi lebih beragam. Lupus, Boim, Gito dan Gusur termasuk ke dalam golongan keluarga yang biasa-biasa saja. Setiap berangkat sekolah, mereka menggunakan fasilitas bis umum. Tetapi ada juga temanya seperti Vera, yang selalu diantar-jemput sopir, atau Fifi Alone, yang hampir setiap hari mentraktir teman-temannya.

Lupus memang digambarkan seperti tak pernah mengalami kesulitan. Hidupnya selalu bahagia: hal itulah yang membuat serial Lupus digandrungi pembaca. Berbagai kejadian yang menimpa Lupus selalu terkesan lucu dan mengundang tawa. Kehidupan yang selalu dianggap ringan dan menyenangkan membuat Lupus menjadi remaja yang selalu dalam perasaan senang. Lupus selalu bahagia menjalankan kehidupannya meskipun  kadang-kadang kehidupan tersebut tidak selalu menyenangkan.

Pada satu sisi, Lupus memiliki kesamaan dengan Ali Topan. Ia juga orang yang kreatif meskipun tidak terlalu cerdas, menikmati keremajaannya dengan kemampuannya menulis freelance di majalah remaja, sering mengisi rubrik mading sekolah, terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah, tetapi juga menikmati kejahilan-kejahilan yang dilakukannya dengan sadar bersama teman-temannya. Intinya, Lupus adalah remaja yang menikmatinya masa remajanya dengan irama yang mengalir.
Ciri khas yang paling menonjol pada diri Lupus adalah sikap hidupnya yang selalu memandang sesuatu secara positif. Kejadian negatif apapun yang dialaminya selalu dilihatnya dari kaca mata positif. Itulah yang membuat Lupus selalu ceria dan tanpa beban. Pun ketika prestasi sekolah yang dicapainya tergolong biasa-biasa saja. Kutipan di bawah ini menegaskan hal itu.

“Saya dengar kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapot bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah,, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok. Tewas dengan sukses. Hahahaha….”
(hlm. 38)

Demikianlah kepribadian Lupus. Akan tetapi, sikap hidup positif, ceria, dan tanpa beban itu memiliki implikasi yang lain. Lupus menjadi kurang peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungannya. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan realitas sosial di lingkungannya disikapi Lupus secara tidak kritis. Contohnya adalah saat banjir melanda kampungnya seperti yang dikutip berikut ini.

“Daerah tempat Lupus tinggal termasuk daerah yang cukup aneh juga. Suka kebanjiran. Nggak peduli hujan lebat atau sekadar rintik-rintik, ya tetap kebanjiran. Kalau sudah begitu, daerah sekelilingnya nggak ketulungan beceknya. Kayak kandang bebek. Namun Lupus toh tidak pernah sombong meski tinggal di daerah elit macam begitu. Biasa-biasa aja.” (hlm.77)
           
 “Jadi ya suka-suka aja banjirnya. Nggak bisa dipaksa. Kata orang sih itu banjir kiriman dari Bogor. Tapi Lupus nggak percaya. Masalahnya, apa orang-orang Bogor segitu kurang kerjaannya sampai sempat-sempatnya ngirim banjir segala ke rumah Lupus? Lagian, memaketkan air sebanyak itu rada sulit juga, lho! Belum lagi ongkos kirimnya. Jadi jelas bo’ong.” (hlm.77)

Realitas sosial maupun ekonomi yang menimpa Lupus selalu disikapi Lupus dengan ringan. Banjir sekalipun tak pernah membuat Lupus bersedih, mengeluh, atau mengkritiknya. Fenomena banjir tersebut sebenarnya dapat disikapi dengan cara yang lebih kritis. Akan tetapi, Lupus lebih memilih menyikapinya dengan cara santai.
           
Bagi Lupus, masalah sosial tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan secara serius. Dalam hal ini, masalah sosial tersebut oleh Lupus dapat dibolak-balik sehingga suatu masalah besar menjadi sesuatu yang ringan saja. Padahal, fenomena “banjir kiriman” dari Bogor ini merupakan masalah yang besar. Widya Siska dalam artikelnya “Jika Hujan Bukan Lagi Rahmat” mengutip Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Slamet Daroyni yang menilai banjir yang sering terjadi disebabkan sistem drainase yang ada di DKI Jakarta sangat buruk. Penyebab lainnya adalah pemberian izin pembangunan gedung yang berjalan sporadis sehingga merusak hutan kota. Di sisi lain, Tingginya curah hujan di Bogor ditambah merebaknya pembangunan area perumahan mewah di daerah Puncak membuat air hujan mengalir dan menggenangi Jakarta.

Uraian di atas menandakan bahwa banjir bukan hanya merupakan fenomena alam, tetapi juga menandakan adanya ketidakberesan dalam penyelenggaran pemerintahan. Ada persoalan utama yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah yang perlu dikritisi. Dan itu berarti ada permasalahan keadilan yang diciderai, terutama oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Akan tetapi, di tangan Lupus, masalah tersebut menjadi sebuah masalah yang ringan, bahkan cenderung lucu sehingga membuat pembaca menjadi lalai pada masalah sesungguhnya.

Inilah sosok Lupus, representasi remaja yang menjalani kehidupannya dengan ringan, santai, dan tanpa beban. Karena itu, kehidupan Lupus sebenarnya cenderung lepas dari konflik karena dia menyikapi fenomena di dalam lingkungannya tanpa pretensi apa-apa. Persaingan yang dilakukan di antara dia dan teman-temannya – dalam hal menggaet cewek atau saling berebur pengaruh dalam prestasi di lingkungan sekolah – cenderung cair sehingga tidak pernah terjadi konflik yang signifikan.

Pada satu sisi, hal ini mengungkapkan serta menawarkan keceriaan masa remaja. Akan tetapi, di sisi lain sosok Lupus dapat memberi pengaruh pada pembaca untuk menjadi tidak kritis terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

Tentu sulit mendapatkan gambaran nasionalisme secara definitif dalam novel ini. Lupus adalah representasi remaja yang menikmati segala pernak-pernik kehidupannya sebagai seorang remaja: pahit-manis kehidupan sekolah, persahabatan, percintaan, dan kenakalan (kejahilan) remaja. Dunia Lupus adalah dunia remaja yang penuh dengan keceriaan. Barangkali, inilah representasi remaja yang lahir pada masa 80-an ketika Orde Baru telah sukses mencanangkan proyek pembangunannya dengan menjaga stabilitas sosial politik secara konstan dan terjaga. Jadi, nasionalisme yang tecermin dalam novel ini adalah sikap kebangsaan yang diformulakan dengan cara mendukung sepenuhnya segala bentuk pembangunan Indonesia, termasuk dengan cara menikmatinya segala kemapanan ekonomi tersebut.

Jika Lupus lahir dan berada di pusat kekuasaan, Roy mengetengahkan realita sosial ekonomi menengah ke bawah di pinggiran Kota Jakarta, tepatnya di daerah Banten. Latar belakang keluarga Roy hampir sama dengan latar belakang kehidupan Lupus. Ayah Roy telah meninggal sehingga untuk menghidupi keluarga Ibunya bekerja menjahit pakaian.

Jika dunia lupus digambarkan penuh dengan gelak tawa, dunia Roy adalah dunia yang kelam. Jika dunia remaja Lupus digambarkan penuh keceriaan, dunia remaja Roy digambarkan penuh liku dan intrik-intrik dan persaingan. Jika serial Lupus menyuguhkan realita yang berwarna indah, Balada Si Roy menyuguhkan realita yang perih dan bagaimana seorang Roy harus menghadapinya. Dapat dikatakan, Roy adalah sosok alter ego Lupus. Pada Balada Si Roy, sosok Roy digambarkan sebagai sosok yang keras dengan lingkungan keras. Karena itu, sejak awal sudah tergambar bentuk-bentuk persaingan yang mengarah pada konflik terbuka. Sosok Roy digambarkan secara sadar memilih untuk terlibat dalam konflik-konflik tersebut. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini.

….Ada empat koboi sombong dengan angkuh sedang nangkring dengan Hardtop-nya. Di bodi mobil itu tertulis sembilan huruf besar-besar.

Borsalino, bisik Roy mengeja huruf-huruf itu. Sorot mata mereka sinis dan tidak bersahabat. Dia mesti hati-hati dengan kelompok itu. Persaingan sudah dimulai saat itu juga. Itulah remaja. Dunia lelaki. Keras dan kadang kala tidak bertanggung jawab. Dia menyadari dan berani menghadapi risikonya. (hlm. 4)

Jika Lupus cenderung lebih santai dalam menanggapi realitas sosial yang ada, Roy justru digambarkan penuh dengan sikap protes dan penolakan. Bandingkan sikap santai Lupus menghadapi banjir yang menimpa rumahnya dengan sikap kritis Roy terhadap fenomena sosial di sekitarnya.

            Bagi yang biasa diberi uang saku memang tidak masalah. Tapi yang tidak? Atau guru-guru yang gajinya pas-pasan untuk bayar kreditan perumnas atau BTN, belum dipotong iuran-iuran lainnya? (hlm.129)
           
Kalau saja setiap guru punya mobil dan gajinya sesuai dengan kondisi zaman, betapa mereka akan bahagia dan leluasa mencurahkan ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya, tanpa harus memikirkan apakah uang bayaran anaknya sudah lunas dan jatah beras selama sebulan mencukupi? (hlm.130)

            …. Katanya sudah sepuluh tahun mangkal di situ. Tidak ada perubahan dalam segi ekonomi selain kiosnya yang semakin reyo, juga orangnya yang suka sakit-sakitan. Ini jelas puisi kehidupan. Menyedihkan. Di bumi kita ini, yang kaya memang semakin kenyang dan  yang miskin semakin tenggelam (hlm. 51.).

Dibandingkan dengan Lupus, Roy justru cenderung lebih problematis. Kehidupannya yang banyak ditempa oleh kerasnya hidup membuat Roy lebih peduli dengan fenomena sosial di sekelilingnya. Sebagai sosok alter ego Lupus, Roy memang agak kesulitan menerima realita yang ada. Roy adalah representasi remaja yang terlepas dari dunia konkretnya dan mencoba menemukan dunia yang diidealkannya. Ia melakukan protes dan penolakan terhadap kehidupan bangsanya dengan mencari dan terus mencari dunia yang diidealkannya – dunia yang dalam pandangan Plato sebagai dunia ide – dengan melakukan petualangan demi petualangan.

4. Penutup

Nasionalisme pada pemerintahan Orde Baru adalah sikap kebangsaan yang diimplementasikan dengan kepatuhan dan ketundukan terhadap negara. Pemerintah Orde Baru sebagai alat negara pada saat itu adalah lembaga yang menentukan tingkat kepatuhan rakyatnya terhadap kebijakan pemerintah dengan konsep pancasilais dan tidak pancasilais.

Novel yang lahir pada awal pemerintahan Orde Baru pada tahun ’70-an masih dibayang-bayangi oleh sistem Orde Lama. Pengaruhnya terlihat pada tokoh Ali Topan dalam Ali Topan Anak Jalanan sebagai  representasi remaja Indonesia pada masa itu. Di satu sisi, Ali Topan adalah remaja dibesarkan pada masa Orde Baru, tetapi di sisi lain ia pun dilahirkan pada masa Orde Lama. Hegemoni pemerintah pada generasi muda (remaja) pada saat itu belum cukup matang sehingga melahirkan tokoh remaja yang kritis dan cenderung memberontak terhadap nilai-nilai yang mulai digulirkan pada sistem pemerintahan Orde Baru.

Sementara itu, novel yang lahir ketika sistem Orde Baru yang sudah mulai matang pada tahun ’80-an melahirkan tokoh remaja dengan sikap kebangsaan yang terbelah. Pertama, remaja yang dapat menerima realitas yang dikontruksi Orde Baru, dengan menjalani sistem tersebut dan memposisikan dirinya sebagai bagian dari sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Lupus dalam novel Lupus. Kedua, remaja yang tidak dapat menerima realitas yang dikonstruksi Orde Baru, dengan cara keluar dari bagian sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Roy dalam novel Balada Si Roy.



Selasa, 26 Februari 2013

Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (3)


3. Gambaran Singkat Ali Topan, Lupus, dan Balada Si Roy

Novel Ali Topan Anak Jalanan adalah novel yang sangat populer pada tahun 70-an dan tokoh utamanya menjadi ikon remaja pada masa itu. Novel yang ditulis oleh Teguh Slamet Hidayat atau yang lebih dikenal sebagai Teguh Esha ini pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung pada majalah Stop di tahun 1972.

Novel yang menggambarkan semangat pemberontakan terhadap nilai-nilai materialisme ini banyak memopulerkan istilah-istilah prokem di  antaranya kata nyokap dan bokap digunakan hingga saat ini. Ali Topan juga merupakan tokoh fiksi yang diidolakan banyak remaja pada zamannya. Hal ini disebabkan kejujuran dalam mengungkap realita dan karakteristik Ali Topan sebagai anak muda yang berprinsip.

Ali Topan digambarkan sebagai pemuda yang dilahirkan dari keluarga kaya raya. Ia hidup dalam lingkungan keluarga yang hedonis. Kemenarikan novel ini terutama terdapat pada kejujuran realita yang disuguhkan Teguh Esha dalam mengungkap konflik cinta anak SMA, juga keluarga yang kurang harmonis dan “tidak beres”. Tema yang diangkat adalah cinta terlarang antara Ali Topan dengan Anna yang tidak disetujui oleh kedua orangtua Anna karena kelakuan Ali Topan yang baragajul. Cerita cinta Anna dan Ali Topan yang penuh perjuangan, menjadikan novel ini sarat dengan kisah romantis dan mengharukan.

Tidak berbeda jauh dengan Ali Topan Anak Jalanan, awalnya novel Lupus adalah cerita serial yang dimuat majalah Hai pada sekitar tahun 80-an. Setelah diterbitkan sebagai serial dengan judul pertama Tangkaplah Daku Kau Kujitak pada November 1986, serial Lupus kemudian menjadi sangat populer di kalangan remaja.

Serial Lupus: Makhluk Manis Dalam Bis adalah serial ketiga setelah Tangkaplah Daku Kau Kujitak dan Cinta Olimpiade. Serial ketiga dari Lupus ini terbit pertama kali tahun 1987 dan telah mengalami cetak ulang sebanyak sebelas kali. Seri sebelumnya, Tangkaplah Daku Kau Kujitak telah dicetak ulang sebanyak tiga belas kali dan cetakan pertama sebanyak lima ribu eksemplar habis dalam waktu kurang dari satu minggu. Seri kedua berjudul Cinta Olimpiade yang terbit pada Februari 1987  telah dicetak ulang sebanyak dua belas kali. Hingga tahun 2003, serial Lupus telah mencapai 52 judul yang mencakup versi Lupus kecil, Lupus ABG, Lupus Milenia, dan Lupus.

Bacaan ringan yang banyak digandrungi ini dikemas dengan humor dan bahasa “gaul” khas remaja. Dalam setiap cerita, Lupus berusaha menyuguhkan adegan-adegan konyol yang menghibur. Berbeda dengan novel pada umumnya, Lupus tidak memiliki batang alur yang utuh. Karena awalnya diangkat dari cerpen pada majalah Hai, Ia hanya merupakan kumpulan cerita yang mengisahkan kehidupan Lupus sehari-hari. Novel serial Lupus mengisahkan kehidupan Lupus, seorang remaja SMA yang unik, dengan potongan rambut model John Taylor, permen karet yang selalu dikulumnya. Gaya dan kelakuannya yang khas dan cuek menjadi daya tarik utama novel serial ini.

Pada masa yang bersamaan, ada tokoh remaja lainnya yang juga menjadi ikon yaitu Roy. Roy adalah tokoh yang ada dalam novel serial Balada Si Roy yang ditulis oleh Gola Gong, nama pena dari Heri Hendrayana Harris. Novel ini juga pertama kali dimuat secara bersambung di majalah Hai dengan waktu pemuatan tidak begitu jauh dengan serial Lupus, tepatnya tahun 1988. Mulai Juni 1989, Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya. Sampai saat ini ada sepuluh judul yang telah diterbitkan yaitu: Joe, Avonturir, Rendez-vous, Bad Days, Blue Ransel, Solidarnos, Telegram, Kapal, Traveler, dan Epilog. Oleh Penerbit Beranda Hikmah, salah satu lini penerbitan Mizan Pustaka, tahun 2004 Balada Si Roy diterbitkan kembali dengan format menjadi empat buku.

Secara umum, Balada Si Roy adalah novel yang menggunakan bahasa remaja dan mengangkat realita kehidupan dengan Roy sebagai tokoh utama yang senang bertualang ke berbagai tempat.

Tiga tokoh novel di atas mencapai tingkat popularitas yang tinggi pada zamannya masing-masing. Hal ini semakin diperkuat dengan diangkatnya ketiga tokoh tersebut ke film.  Ali Topan Anak Jalanan diangkat ke layar lebar pada tahun 1976 dengan pemeran utama Junaedi Salat. Lupus pernah diangkat ke layar film yang diperankan oleh aktor Ryan Hidayat. Sekitar tahun 2003, Balada Si Roy juga pernah dijadikan sinetron oleh PT. Indika Entertainment di RCTI dengan judul Petualangan si Roy.

Senin, 25 Februari 2013

Masihkah Ada Kategori Novel Serius dan Novel Populer?


Sebuah teks sastra, terlepas teks tersebut dikategorikan sebagai teks bermutu sastra tinggi atau bermutu sastra rendah, pastilah memiliki nilai. Demikian Roland Barthes pernah berkata. Barthes (1981) meyakini bahwa seberapa pun kadar nilainya , maka ia layak mendapatkan kajian dalam perspektif apapun.         
           Sebuah karya sastra tidak hanya dilihat dari estetika saja. Hal itu sudah dikemukakan Horatius sejak lama. Bagi Horatius, teks sastra tidak hanya harus mengandung “dulce” (keindahan), tetapi juga mengandung “utile” (kemanfaatan). Itu artinya sebuah teks sastra selain dinilai dari segi keindahannya (estetika), juga harus memberikan nilai manfaat bagi pembaca.
            Jika dihubungkan dengan aspek manfaat ini, saya teringat masa bertahun-tahun yang lalu saat saya masih remaja. Masa itu adalah masa ketika saya dan lingkungan sosial saya begitu mengidolakan Lupus. Sebagai seorang idola, segala perilaku Lupus saya ikuti. Rambut berjambul, lengan baju dilinting, dan tas bergaya Lupus, menjadi perilaku keseharian saya. Jika mengingatnya sekarang, saya mungkin akan tertawa geli. Tapi hal itu juga menyadarkan saya betapa sebuah fiksi dapat mempengaruhi saya dan lingkungan sosial saya sebegitu dahsyatnya. Dan itu juga tampak pada sosok Roy dalam  Balada Si Roy yang banyak menginspirasi anak muda pada masa itu. Jadi, saya berkesimpulan bahwa karya fiksi, terlepas apakah ia dikategorikan karya populer atau karya sastra, pasti memberikan nilai-nilai pada pembaca.
            Sejauh ini, novel populer selalu dipandang sebelah mata. Novel populer dianggap tidak memiliki estetika adiluhung, melainkan hanya mengandung nilai-nilai yang dangkal sehingga tidak perlu diapresiasi. Pandangan ini sudah merupakan pandangan yang umum di kalangan para pengamat sastra atau orang-orang yang berkecimpung di ranah sastra, termasuk pula di wilayah akademik. Maka tak heran, misalnya, banyak mahasiswa sastra yang menjadi buntu proses kreatifnya karena takut karya mereka dikategorikan ke dalam sastra populer. Stigma penulis sastra populer merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi mahasiswa sastra. Begitu pula dalam wilayah pengkajian sastra. Novel-novel populer sepertinya masih menjadi bahan kajian yang tabu. Ia hanya menjadi rak-rak di toko buku, menjadi bacaan menarik bagi masyarakat awam, tetapi tidak pernah mampu masuk ke dalam pintu gerbang wilayah pengkajian sastra.
            Padahal, diakui atau tidak diakui, sastra populer telah berkembang begitu pesat. Itu terbukti dari massifnya penulisan dan penerbitan novel dan kumpulan cerpen yang ber-genre ini. Artinya, fenomena sastra populer ini adalah fenomena yang berkembang di ranah kesastraan itu sendiri. Jadi, sangat disayangkan kalau kita seperti mengabaikannya seolah-olah ia tidak pernah ada.
            Kata populer memang sering berkonotasi rendah. Populer selama ini diidentikkan sebagai budaya massa. Budaya massa diyakini sebagai budaya yang sifatnya afirmatif, dangkal, dan cenderung seragam sehingga tidak memberikan kekhasan pada dirinya. Tanda-tanda tersebut menjadikan sastra populer bukanlah bagian dari budaya adilihung, dan karena itu tidak layak untuk diapresiasi.
            Akan tetapi, perspektif di atas dicurigai sebagai pola pemikiran yang sangat bias dengan cara pandang filsafat modern. Pengkategorian budaya tinggi- budaya rendah, sastra serius-sastra populer merupakan suatu modus operandi filsafat modern dalam usahanya menyingkirkan wacana-wacana kecil  ‘mini narasi’ dari lingkaran wacana besar – dalam bahasa Francois Lyotard grand naration - atau wacana terpusat. Modus seperti ini pula yang diyakini Nenden Lilis (Pikiran Rakyat, 12/4/2008) menjadikan sastra populer dikesampingkan dalam wacana kesusastraan Indonesia.
Berkembangnya pemikiran posmodern yang salah satunya melahirkan kajian budaya (cultural studies) menjadikan batas antara kebudayaan (sastra) tinggi dan kebudayaan (sastra) rendah/ populer semakin kabur. Yasraf Amir Piliang (Pikiran Rakyat, 24/6/2008) mengatakan bahwa kaum posmodern berusaha mendekonstruksi benteng pemisah antara budaya (sastra) tinggi dan budaya (sastra) massa (populer) sehingga tercipta ruang heterogenitas dalam budaya (sastra).  Dengan cara itu, sastra populer  yang selama ini selalu diletakkan di luar wilayah sastra dapat didudukan sebagaimana mestinya.
Karena itu, saat ini, kajian-kajian terhadap novel-novel yang selama ini dikategorikan sebagai karya populer sangat dimungkinkan. Abrams (2006) mengatakan bahwa dalam penelitian sastra, kita dapat mengkaji karya dari empat pendekatan yaitu pendekatan objektif, mimetik, ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan objektif melihat karya sastra dari teks an sich. Artinya, teks sastra dipahami sebagai sesuatu yang otonom. Pada tataran inilah unsur-unsur di dalam teks dapat dilihat dari segi estetikanya. Sementara itu, pendekatan mimetik mengandaikan bahwa karya sastra adalah tiruan atau representasi dari realitas. Itu artinya untuk memotret realitas pada suatu masa, kita bisa meneliti karya sastra yang lahir pada masa itu. Dengan kata lain, kita meneliti karya dari representasi sosiologinya. Pendekatan ekspresif dilihat pada sisi pengarang. Yang diteliti adalah bagaimana pengarang bisa melahirkan sebuah karya sastra. Yang terakhir adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan ini mengutamakan kemanfaatan sebuah karya sastra terhadap masyarakat pembaca.
Jadi, jelaslah bahwa sebuah karya sastra tidak hanya dilihat dari segi estetikanya saja, tetapi dapat dilihat dari berbagai perspektif. Karena itu pula, novel populer menjadi sah untuk dimasukkan ke dalam pengkajian sastra. Jika selama ini novel populer tidak layak dijadikan kajian karena estetikanya dianggap berkadar rendah, mengacu pada paparan di atas, pernyataan tersebut dapat dimentahkan. Selain itu, kajian sastra tidak hanya melingkupi penelitian terhadap mutu estetika sastra saja. Banyak hal yang bisa dikaji dari sebuah teks sastra, pun teks yang selama ini dikategorikan sebagai teks fiksi popular. Berbegai pendekatan bisa dilakukan terhadap objek dalam suatu penelitian.
Saya kira sebuah institusi keilmuan – termasuk individu di dalamnya -  perlu membuka diri terhadap fenomena yang berkembang di masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, kita tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Karena itu, dinamika yang terjadi di masyarakat menjadi bagian tanggung jawab kita semua. Pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada manfaatnya sama sekali meneliti sebuah novel populer adalah sebuah pernyataan yang berangkat dari pemikiran yang terpusat. Cara pandang ini hendaknya sudah mulai kita tinggalkan agar kita tidak ditinggalkan oleh masyarakat itu sendiri.
Dunia keilmuan bukanlah dunia yang terpisah dengan dunia masyarakat. Karena itu, sudah sepantasnyalah kita membuka mata terhadap apa yang terjadi di dunia kita.







Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (Bagian 2)


2. Nasionalisme

Dhakidae, dalam pengantarnya di Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang (2008), menyatakan bahwa konsep “bangsa” atau “kebangsaan” menimbulkan keruwetan yang  dalam, terutama jika diikuti jejaknya dalam sejarah. Karena kekompleksannya itu pula, nasionalisme juga dapat ditafsirkan dengan berbagai perspektif.

Kohn (1984: 11) memiliki pendapat bahwa nasion atau bangsa didirikan oleh faktor-faktor kesamaan objektif yang membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain seperti bahasa, adat-istiadat, persamaan turunan, atau agama. Tetapi, Kohn sendiri  menyatakan bahwa hal-hal di atas bukanlah faktor hakiki sebagai penentu hadirnya suatu bangsa. Definisi Anderson dalam hal ini lebih jelas dan lugas. Anderson (2008: 8) menyatakan bahwa nasion atau bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan memiliki kesamaan dan kebersamaan dengan ruang lingkup yang terbatas dan memiliki kedaulatan. Bangsa memang diartikan sebagai komunitas politik, karena itu bangsa diwadahi oleh negara. Dengan demikian, dapat dipahami jika misalnya, rakyat Timor-Timur tidak lagi diangggap sebagai bangsa Indonesia meskipun bertahun-tahun yang ia merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Rasa keterikatan yang dibayangkan inilah yang membuat kita dapat mengerti, seperti disampaikan  Anderson, mengapa penduduk di pesisir timur Pulau Sumatera yang secara geografis lebih dekat dengan penduduk di Semenanjung Malaka (Malaysia) bahkan memiliki kesamaan bahasa dan kesamaan agama, ternyata lebih memiliki keterikatan dengan penduduk Maluku – yang dari jarak geografisnya sangat jauh serta dari bahasa juga tidak saling mengerti – sebagai sesama orang Indonesia dan menganggap orang di Semenanjung Malaka tersebut sebagai “orang asing”. Rasa keterikatan seperti itulah yang disebut nasionalisme.

Dalam kaitannya dengan negara, konsep nasionalisme sangat mudah digiring ke dalam lingkup kekuasaan. Nasionalisme tidak lagi didefinisikan sebagai pembeda “aku-dia” atau “aku-mereka”, tetapi nasionalisme di sini adalah sebentuk sikap kepatuhan terhadap “bangsa” yang diterjemahkan ke dalam konsep nasionalis-tidak nasionalis. Konsep tersebut dalam Pemerintahan Soekarno dikenal dengan revolusioner versus kontrarevolusioner, sedangkan pada masa kepemimpinan Soeharto, konsep tersebut adalah Pancasilais dan tidak Pancasilais. Ujung-ujungnya, konsep kontrarevolusioner maupun tidak pancasilais adalah konsep yang diciptakan untuk memberikan tekanan pada kelompok masyarakat yang tidak mendukung kebijakan pemerintah (Soekarno/ Soeharto) pada masa itu.

Dalam tulisan ini, nasionalisme dalam ketiga novel remaja tersebut akan dilihat dari kaitannya dengan pemerintahan Orde Baru. Hal ini terkait dengan keberadaan ketiga novel remaja itu yang diciptakan pada masa Orde Baru.

Minggu, 24 Februari 2013

Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (bagian 1)


1. Pendahuluan

Novel yang berkaitan dengan kehidupan remaja sering digolongkan sebagai novel populer. Ini mungkin disebabkan bahwa kebanyakan novel-novel yang dikategorikan sebagai novel populer bertema remaja. Istilah novel populer sendiri muncul pada tahun 1970-an. Pada masa sebelumnya, novel populer lebih dikenal dengan nama roman picisan. Menurut Sumarjo (1982: 18), istilah novel populer merupakan lanjutan  dari roman picisan yang sudah lebih dulu hadir sebelumnya. Pemberian istilah roman picisan itu sendiri berasal dari wartawan bernama Parada Harahap pada tahun 1939 ketika terjadi polemik tajam dengan pengarang roman Matu Mona.

Nurgiyantoro (1997: 17) mengatakan bahwa sebutan novel populer tersebut mulai merebak seiring suksesnya novel Karmila karya Marga T. dan Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Sebutan novel populer terhadap novel-novel yang diasosiasikan sebagai hiburan melahirkan kategori novel populer dan novel serius.

Sampai saat ini novel sering diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu novel serius dan novel populer. Novel serius adalah penamaan pada novel yang dianggap memiliki kualitas sastra yang baik atau novel serius. Sementara itu, novel populer dilekatkan pada novel yang berpretensi sebagai bacaan hiburan semata. 

Klasifikasi ini, menurut Waluyo (1994: 40), mulai mencuat pada tahun 1980-an. Menurut Waluyo, pada masa itu, penerbitan novel sangat banyak. Hal itu membuat para ahli sastra mencoba mengklasifikasikan novel-novel tersebut ke dalam dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Mengenai klasifikasi itu, Waluyo memberi penjelasan seperti ini.

Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi) sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitas. Yang digarap maupun teknik penggarapannya mengulang-ulang problem dan teknik yang sudah ada (1994: 40).
               
Sementara itu, klasifikasi yang dibuat oleh Waluyo di atas sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Jakob Sumarjo. Menurut Sumarjo, perbedaan antara novel populer dan novel serius lebih dikaitkan pada kreativitas atau kebaruan karya. Novel populer cenderung mengikuti kenginan masyarakat pembaca. Apa yang sedang digemari pembaca, jenis karya seperti itulah yang akan diproduksi. Karena memiliki kecenderungan seperti di atas, pembaruan jarang terjadi pada novel populer. Justru yang sering terjadi bentuk-bentuk peniruan pada karya yang sudah ada sebelumya (epigon). Hal ini berbeda dengan novel serius yang lebih berpretensi untuk menciptakan sebuah karya yang baru dan unik.

Novel populer disebut demikian karena karya itu baik tema, cara penyajian, teknik, bahasa maupun gaya meniru pola yang sedang digemari masyarakat pembacanya. Hal ini agak bertentangan dengan karya-karya novel sastra yang lebih menitikberatkan pada keunikan karya, kebaruan, dan kedalam (1982: 18).  

Meskipun membuat klasifikasi novel populer dan novel serius, Sumarjo memandang bahwa kedua jenis novel di atas memiliki kedudukannya sendiri sehingga tidak perlu diperbandingkan satu dengan yang lain.

Novel pop sekarang ini telah menduduki tempatnya yang benar dalam struktur budaya kota. Orang tak perlu merasa terhina hanya (karena) ia digolongkan pada deretan penulis pop(uler). Apa yang dikategorikan sastra maupun pop(uler) mempunyai kedudukan sendiri dan jasanya sendiri pula (Sumarjo, 1982: 32)

Kajian ini berangkat dari besarnya peranan sosiologis novel-novel populer dalam merepresentasikan gejala sosiologis yang ada di masyarakat. Selain sebagai representasi realitas pada masa itu, novel – terutama tokoh pada novel tersebut – juga dapat memproduksi makna realitas. Hal itu ditemukan terutama pada novel-novel populer yang memiliki tingkat keterserapan yang tinggi pada masyarakat pembaca.

Penelitian ini ditujukan untuk melihat sejauh mana nasionalisme direpresentasikan dalam novel populer. Apakah nasionalisme hadir dalam novel-novel novel tersebut. Apabila iya, seperti apakah nasionalisme dihadirkan. Lalu, bagaimana nasionalisme direpresentasikan tokoh remaja dalam novel-novel populer tersebut.


oleh: Muhamad Adji
tulisan ini pernah dipresentasikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan Indonesia XX HISKI di UPI Bandung, 5-7 Agusutus 2009 dan sudah mengalami beberapa perubahan.

Mengenal Sastra

oleh Muhamad Adji


Apa itu sastra? Banyak yang mengatakan bahwa sastra adalah seni keindahan yang menggunakan medium bahasa. Seperti lukisan yang menggunakan medium cat lukis. Tapi ternyata sastra tak hanya sekadar keindahan, tapi juga menyimpan makna atau pesan moral. Horatius mengatakan bahwa sastra itu bersifat utile dan dulce, yang artinya bermanfaat dan indah.
Di dalam pendidikan kita, ilmu sastra menyatu dengan ilmu bahasa. Ilmu sastra adalah ilmu keindahan yang menggunakan medium bahasa. Sedangkan ilmu bahasa adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa itu sendiri, sejarah dan  perkembangannya saat ini (linguistik).

Kategori sastra

Sastra biasanya dikategorikan dalam beberapa jenis atau genre
  1. puisi     : bagian ilmu sastra yang berusaha mendeskripsikan pengalaman keindahan dengan cara memadatkan kata-kata.
  1. prosa    : bagian ilmu sastra yang berusaha mendeskripsikan pengalaman keindahan dengan cara menguraikan lewat kata-kata. Contohnya : cerpen dan novel.
  1. drama : bagian ilmu sastra yang ditandai dengan bentuk dialog dan akan sempurna jika dipentaskan.
Pada perkembangannya, genre ini pun berkembang pesat pula ke dalam berbagai varian. Itu terlihat dalam perkembangan sastra sekarang yang didukung oleh perkembangan oleh teknologi dan industri. Skenario film tentunya tidak bisa dilepaskan dari drama. Artinya kita tidak hanya membayangkan dialog dan interaksi para tokoh, tetapi juga kita harus membayangkan situasi dan lokasi yang dapat diwujudkan dalam bentuk pementasan.

Bagaimana belajar sastra?

            Kita mengenal dua macam kecerdasan, yang sekarang ini dikembangkan lagi ke dalam tiga macam kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Istilah yang lain adalah otak kanan dan otak kiri. Otak kiri biasanya berhubungan dengan angka-angka dan logika, sementara otak kanan berhubungan dengan kreativitas.
Begitu juga dalam hubugannya dengan cara kita belajar. Dibutuhkan kecerdasan emosional yang membuat kita lebih siap dalam memasuki dunia yang baru yang tentunya akan sangat berbeda dengan kehidupan kita sebelumnya. Misalnya, cara belajar yang lebih ditekankan pada self learning, waktu yang lebih fleksibel, tapi beban tugas yang lebih banyak. Ini tentunya berbeda dengan cara belajar pada masa sekolah sebelumnya. Nah, di sinilah dibutuhkan kreativitas kita, kemandirian kita, dan kemampuan kita berinteraksi dengan lingkungan kita yang baru. Ibaratnya, tiba-tiba kita ini disesatkan atau tersesat ke dalam sebuah lingkungan yang baru. Siapa yang bisa membantu kita? Dosen Cuma punya waktu bertemu seminggu sekali. Selebihnya? Di sinilah dibutuhkan kecerdasan kita. Banyak bergaul dan aktif.

Apa peluang sastra dalam dunia kehidupan?

            Setiap dunia yang menggunakan kata-kata, itu adalah peluang dunia sastra. Jika itu dihubungkan dengan dunia kerja. Berpijak dari pengalaman saya, ilmu sastra banyak membantu saya dalam bekerja. Ketika saya bekerja di media massa, kemampuan saya dalam menguntai kata-kata menjadi nilai plus yang tidak dimiliki mahasiswa jurnalistik, misalnya, meskipun mereka memiliki kemampuan lain, yaitu cara-cara dalam mengejar narasumber. begitu juga ketika dalam dunia iklan, yang membutuhkan kreativitas berbahasa (tentunya kreativitas ini didahului oleh pemahaman berbahasa yang baik). Dalam dunia film, apalagi. Begitu banyak kebutuhan akan skenario film yang berkualitas yang sebenarnya mengundang kita untuk masuk. Belum lagi film-film televisi. Industri buku juga tidak ketinggalan membutuhkan kita, baik sebagai penulis maupun sebagai editor. Jadi, kalau ditanya di mana peluang kita ke depan, jawabannya banyak sekali. Yang dibutuhkan adalah kreativitas kita sejak awal. Kalau kita dapat mengembangakan diri kita sejak awal, maka kita dapat memasuki kehidupan selanjutnya dengan perangkat “perang” yang lebih komplet. Bagaimana caranya? Masuki kehidupan kampus dengan segala yang dimilikinya. Baik itu dunia akademis maupun dunia kemahasiswaan.



Jejak Kaum Muda Indonesia*


oleh Muhamad Adji

Tidak dapat dimungkiri, peristiwa Sumpah Pemuda 1928 telah menjadi sejarah sekaligus mitos dalam kehidupan kita. Sebab, ia menegaskan betapa kekuatan pemuda begitu besar perannya dalam menopang tegaknya sebuah bangsa. Maka, setiap tahun kita memperingatinya sebagai bagian dari sejarah yang mendasari lahirnya sebuah bangsa. Dengan tiga pilar, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, ia menjadi magnet yang menyatukan berbagai keyakinan, berbagai kepentingan yang mendasari pendirian negara Indonesia yang berdaulat dari segala bentuk penindasan.
Namun, perjuangan pemuda Indonesia dalam merumuskan konsep suatu bangsa tidak bisa dilihat hanya dalam bentuknya yang telah jadi seperti saat ini. Ia tidak bisa dilihat layaknya makanan instan yang dalam hitungan waktu telah berbentuk produk jadi. Perjuangan itu telah melalui proses dialektika yang panjang. Seperti yang dikatakan Frans Magnis Suseno (2011), kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami yang didasarkan oleh adanya satu bahasa dan satu budaya yang lantas diungkapkan dalam kesatuan negara yang bernama Indonesia. Kebangsaan Indonesia berangkat dari pengalaman manusia yang sama: mengalami ketertindasan bersama dan pengalaman ketidakadilan yang diderita bersama. Pengalaman yang sama ini memunculkan perasaan yang satu. Karena itu, Sumpah Pemuda, sebagai sebuah mitos keberhasilan kaum pemuda dalam membuat pilar bangsa sepatutnya dilihat sebagai sebuah momentum mengikatkan yang pengalaman bersama tersebut. Layaknya sebuah momentum, maka ia sejatinya harus dilihat sebagai bagian dari proses dialektika dalam memaknai sebuah bangsa, memaknai arti kemerdekaan, dan memaknai persatuan dalam keanekaragaman.

Jalan Berliku
Sebelum dikekalkan dalam mitos sebagai tonggak bangsa, banyak jalan yang telah dilewati oleh para pemuda Inddonesia, baik melalui jalan yang mudah maupun berisiko. Sebagian melalui jalan terbuka yang dikenal massa, namun ada pula yang memilih melalui jalan yang sunyi. Soekarno, Moch. Hatta, Syahrir, adalah tokoh-tokoh pemuda yang dikenal baik pada masa itu karena sosoknya yang selalu berada di depan dalam barisan pemuda. Ketiga sosok pemuda tersebut lekat dalam berbagai wacana kebangsaan, pun tidak terkecuali dalam dunia sastra. Dalam puisi heroik Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar yang sering dibacakan siswa dalam momen-moment mengenang peristiwa kebangsaan, mereka dihidupkan sebagai tokoh-tokoh pemuda yang harus terus dijaga keberadaannya. Namun, di sisi lain, ada pula yang menyepi dari kerumunan massa, tetapi tetap berjuang bagi bangsanya dengan gagasan-gagasannya yang bernas tentang Indonesia. Mereka memilih berjuang sendirian, tetapi gagasan-gagasan mereka masih tetap hidup dalam konteks masa kini. Tan Malaka mungkin salah satu nama yang berada di jalan itu.
            Di luar itu semua, sosok Minke mungkin tidak akan dikenal dalam sejarah perjuangan pemuda Indonesia. Bukan hanya karena ia tidak populer, melainkan karena ia bukan tokoh nyata, ia adalah tokoh fiksional dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, karya sastra kanon yang sempat dilarang terbit dan beredar pada masa rezim Orde Baru. Nama lengkap Minke adalah Raden Tirto Adi Suryo. Nama ini pun tidak akrab dalam sejarah kebangsaan kita, padahal ia merupakan tokoh pers Indonesia pertama yang merintis jalan pembentukan gerakan kebangsaan. Pramoedya yang juga menulis biografi Raden Tirto Adi Suryo, menjadikan tokoh sejarah tersebut sebagai model tokoh fiksionalnya. Itu juga tidak lepas dari keinginan Pram untuk menghidupkan peran tokoh pemuda tersebut dalam memori kolektif bangsa Indonesia.
Perjalanan Minke menjadi penanda jalan panjang yang dilalui oleh pemuda Indonesia. Ia menyadarkan kita arti perjuangan kebangsaan yang sesungguhnya. Dari Minke, yang seorang siswa HBS, kita menjadi tahu bahwa perjuangan kebangsaan itu tidak bisa dilakukan jika kita masih menggunakan perspektif penguasa kolonial masa itu. Perjuangan yang sesungguhnya adalah perjuangan melibatkan diri dengan tanah air, melibatkan diri dalam perasaan senasib yang mengikatkan diri pada penderitaan rakyat.
Ketidakadilan yang sering diterima bangsa Indonesia sebagai warga kelas dua bahkan kelas kesekian di tanah air sendiri merupakan kenyataan yang tidak terelakkan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Sebagai anak Bupati, Minke pun mendapat keistimewaan dari politik etis Belanda dengan diperbolehkan mencicipi pendidikan Belanda. Namun, kehormatan itu sekaligus membuka borok pemerintah kolonial karena di sanalah ketidakadilan itu terbuka dengan nyata. Nama Minke yang diberikan oleh gurunya yang merupakan plesetan dari kata monkey menunjukkan bahwa bangsa pribumi tetap dipandang rendah oleh bangsa kolonial sehingga tidak akan pernah mendapatkan kedudukan yang setara, apalagi untuk memperoleh hak-haknya sebagai pribumi.
Maka, dari kenyataan yang mengiris itu, Minke sebagai representasi pemuda masa itu sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Kepemilikan atas tanah air ini menyadarkannya bahwa sebagai pribumi ia memang berbeda dari bangsa Belanda, bahwa hak untuk mendiami tanah air ini ada pada pribumi, bukan pada bangsa kolonial. Semua itu merupakan kesadaran yang berangkat dari pengalaman pahit sebagai bangsa Indonesia. Perjuangan yang dilakukan Minke melakukan proses penyadaran, melalui tulisan di surat kabar yang berbahasa Melayu, bukan bahasa Belanda yang selama ini diakrabi Minke sejak kecil dan tertanam di benaknya sebagai lingua franca.
Pemakaian bahasa Belanda disadari Minke menjadikannya tidak bisa lepas dari paradigma bahasa itu sendiri. Sebab, bagaimana kita memandang sesuatu, itu tidak bisa dilepaskan dari bahasa (Kevin O’Donnel, 2009). Bahasa tidak hanya berarti alat untuk menyampaikan sesuatu, tetapi, dengan bahasa, kita juga sedang mengonstruksi sesuatu. Menggunakan bahasa Belanda berarti sedang memperbincangkan bangsa pribumi dalam konstruksi penguasa kolonial. Karena konstruksi penguasa kolonial sangat mengandung bias atas pribumi, maka bahasanya pun pasti akan mengandung bias. Oleh karena itu, Minke memutuskan menggunakan bahasa Melayu karena dengan cara itulah dia bisa memandang bangsanya dengan bahasa sendiri, sekaligus mengikatkan rasa kebangsaannya dengan kehidupan bangsa Indonesia yang sesungguhnya..
Keputusan Minke untuk tidak lagi menggunakan bahasa Belanda dalam mengungkapkan gagasannya paralel dengan kesadaran pemuda pada masa itu, yang menjadikan bahasa sebagai salah poin pernyataan yang tertuang dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Maka bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dideklarasikan para pemuda pada 28 Oktober 1928 juga merupakan bentuk kesadaran politik. Meskipun jauh setelah itu Indonesia baru meraih kemerdekaannya, tidak dapat disangkal bahwa pergerakan para pemuda telah menjadi cikal bakal sebuah kesadaran akan negeri yang berdaulat, yang didasari oleh semangat kebangsaan dan bahasa persatuan.

Langkah Pemuda Hari Ini 
Kesadaran akan tanah air yang satu, bangsa yang satu, bahasa yang satu, sejatinya masih menjadi bagian dari kesadaran kita saat ini. Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, pernyataan yang merupakan janji para pemuda 83 tahun yang lalu harus dimaknai kembali dalam konteks masa kini. Kesadaran yang melibatkan diri dengan keinginan dan harapan rakyat semestinya masih menjadi jiwa perjuangan pemuda masa kini.
Jejak pemuda masa lalu dengan berbagai peran yang mereka lakukan telah menjadi memori kolektif masa kini. Akan tetapi, sejauh manakah kita telah memaknai jejak langkah yang telah mereka torehkan? Apakah yang telah kita isi sebagai penerus langkah mereka? Penyadaran yang dilakukan oleh Minke merupakan sebuah inkhtiar untuk mengajak bangsa Indonesia menatap dirinya sendiri. Merenungi posisinya di rumahnya sendiri dan memperjuangkan hak-hak yang semestinya dimiliki oleh pemilik rumah itu.
Masa imperialisme memang telah berakhir. Jika Soekarno (1958) pernah mengatakan bahwa hakikat perjuangan suatu bangsa adalah perjuangan melawan imperialisme, maka dalam konteks saat ini, yang perlu dilakukan adalah merenungi untuk menginterpretasikan hakikat perjuangan itu sendiri. Globalisasi memang telah mengaburkan batas-batas tanah air, batas-batas bangsa, serta batas-batas bahasa. Ruang dunia yang semakin terbuka semakin mengaburkan identitas seperti yang didengungkan para pemuda di tahun 1928 itu. Akan tetapi, yang masih menjadi persoalan penting adalah bagaimana kita memaknai globalisasi secara proporsional dengan tetap meletakkan diri kita pada tanah mana kita berpijak. Dengan itu, kesadaran satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, tetap menjadi kesadaran kolektif yang menunjukkan siapa diri kita dan kemana keberpihakan kita. Seharusnya di ruang itulah pemuda masa kini menempatkan dirinya. Mengisi ruang kemerdekaan tidak hanya berarti melibatkan diri dalam ruang-ruang yang diciptakan oleh oleh ruang dan waktu masa ini. Mengisi ruang kemerdekaan berarti juga peka dan berusaha memahami persoalan-persoalan yang melilit bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan yang melilit Indonesia saat ini masih berada dalam ruang tunggu kemerdekaan. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan mental korup yang tidak pernah lekang oleh waktu (bahkan oleh reformasi sekalipun), merupakan fenomena yang masih sangat kasat mata. Ia terentang mulai dari produk UU yang merugikan rakyat, kebijakan pemerintah yang memanjakan pihak asing,  sampai pada penerapan dan pengawasan hukum yang lemah. Semuanya itu masih menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia sampai hari ini, di usianya yang telah melewati 56 tahun.
            Oleh karena itu, langkah yang harus diretas oleh pemuda Indonesia adalah menerjemahkan kembali tiga pernyataan keramat yang tertuang dalam sejarah perjuangan pemuda itu ke dalam konteks persoalan keindonesiaan saat ini. Termasuk pula menginternalisasikannya dalam diri sehingga pemuda Indonesia tidak menjadi objek dari sistem, tetapi subjek yang dapat mengubah sistem. Dengan demikian, pemuda Indonesia diharapkan akan menjadi manusia-manusia yang integratif  dalam memandang dirinya dan bangsanya, bukan manusia yang cacat mental yang berani mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan diri sendiri. 


* * * * *
*Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Jabar, 31 Oktober 2011


Teknologi: Memudahkan atau Menyengsarakan Manusia?

oleh Muhamad Adji

Apakah yang Anda rasakan ketika menyadari bahwa telepon seluler Anda tertinggal di rumah sementara tempat Anda bekerja atau  menuntut ilmu begitu jauh jaraknya dari rumah Anda? Merasa dunia Anda hancur satu hari itu? Apakah perasaan itu ada ketika 10 atau 15 tahun yang lalu, ketika Anda tidak pernah mengenal makhluk seperti apakah telepon seluler itu?

            Demikianlah. Teknologi telah mengubah wajah dunia. Ia juga telah mengubah  hidup manusia. Dulu, kita tidak merasa kalau hidup kita dikendalikan oleh teknologi. Toh, teknologi diciptakan oleh manusia dengan tujuan untuk memudahkan kehidupan manusia. Akan tetapi, sadarkan kita kalau sekarang kita telah dikendalikan oleh teknologi?
        Kalau kita telusuri jauh sejak manusia mulai mengenal peradaban, teknologi adalah buah dari ilmu pengetahuan. Lalu, apakah ilmu pengetahuan itu? Ilmu pengetahuan adalah bentuk dari jawaban manusia akan kehidupan di dunia ini yang telah terstruktur dan tersistematis. Tapi, tahukah kita, dalam masa primitif manusia, bagaimana manusia menuntaskan keingintahuan mereka atas misteri alam semesta ini?
          Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia tidak mengenal dengan jelas alam semesta ini. Bagi  manusia, alam semesta adalah mesteri besar yang tidak terpecahkan. Karena alam semesta adalah misteri, maka ia tidak bisa ditundukkan. Di mana-mana, misteri selalu mengundang rasa penasaran, sekaligus mengundang rasa ketakutan. Karena manusia tidak dapat memahami dunia dengan jelas, manusia akhirnya tunduk pada alam. Bagaimana implementasi dari sifat ketundukan manusia terhadap alam? Dengan cara mendewakan alam. Bagaimana implementasi manusia akan keawamannya terhadap misteri alam semesta? Dengan menciptakan mitos. Mitos adalah narasi yang diciptakan manusia dalam memberikan jawaban atas segala fenomena alam semesta. Dalam mitologi Yunani, narasi-narasi diciptakan untuk meberikan jawaban. Maka kita akan mengenal nama-nama Dewa sebagai representasi alam semesta yang misterius. Jika laut sedang terjadi badai, kita akan tahun bahwa Dewa Neptunus sebagai representasi laut sedang marah. Atau jika terjadi petir dan guruh yang sambung-menyambung, itu tandanya Dewa Zeus sedang menunaikan amarahnya. Manusia pada akhirnya menjadi takluk terhadap alam. Manusia menghormati alam sebagai sesuatu yang maha. Dalam Van Peursen, realitas seperti itu menempatkan manusia sebagai bagian kecil dari alam semesta. Manusia berada dalam lingkaran alam semesta. manusia adalah mikrokosmos, sedangkan alam semesta adalah makrokosmos. Ini memberikan ketundukan yang penuh dari manusia terhadap alam. Manusia menjadi subordinat dari alam.
Bagi Descastes, seorang filsuf yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern, hal itu menjadikan manusia tidak otonom atas dirinya. Dengan ketundukannya itu, manusia menjadi bergantung pada sesuatu yang lain. Padahal, sebagai subjek yang memiliki eksistensi, manusia harus yakin pada dirinya.  Memang, dalam setiap aktivitas yang melibatkan alam, manusia seperti berada dalam bayang-bayang alam. Dalam budaya di Indonesia, masih kerap kita temui ritual-ritual yang memberikan simbol akan ketundukan manusia terhadap alam semesta. dalam mitos Dewi Sri sebagai representai padi, para petani melakukan ritual terlebih dahulu sebelum menanam padi. Ritual ini adalah suatu bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Padi. Dengan  melakukan ritual padi, diyakini padi yang ditanam akan tumbuh dengan subur. Bagi yang tidak atau lalai melakukan ritual, diyakini tanaman padi yang ditanamnya akan berbuah jelek. Teknologi telah memupuskan mitos itu. Sekarang paradigma berubah. Padi menjadi subur karena dikelola dan diberi pupuk dengan menggunakan tekonologi modern. Begitu juga jika terjadi petir. Kita segera tahu bahwa sedang terjadi gesekan-gesekan gelombang elektromagnetik di udara. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah mitos tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dengan penggunaan gelombang elektromagnetik yang ada di udara, kita mengenal televisi, kita mengenal radio, dan yang terkini kita mengenal telepon seluler.
Apa yang salah dari semua itu? Bukankah kita menjadi dimudahkan? Bukankah hidup manusia menjadi lebih tertata? Dengan bantuan teknologi, kita dapat mengenal peristiwa di belahan dunia Eropa hanya sepersekian detik setelah peristiwa itu terjadi. Bayangkan hal itu dua puluh tahun yang lalu? Dengan bantuan teknologi, kita dapat mencapai Benua Amerika atau Afrika hanya dalam hitungan jam. Bayangkan hal itu seratus tahun yang lalu? Tidak dapat dimungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia untuk menjejakkan kakinya ke dalam peradaban yang baru.
Van Peursen mengatakan, ilmu pengetahuan telah menjadi manusia memiliki posisi yang sejajar dengan alam. Manusia tidak lagi merasa takut dengan misteri alam. Ketakutan itu berasal dari ketidaktahuan manusia. Ketika manusia tahu, alam yang misterius tidak memberikan efek yang menakutkan lagi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia memandang alam sebagai sesuatu yang objektif, nyata, dan terukur. Teknologi, sebagai kelanjutan ilmu pengatahuan, telah menjadi manusia dapat memanfaatkan alam semesta dengan baik. Karena alam telah diketahui dengan pasti, alam kemudian digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia. Dalam pandangan Peursen, inilah yang dinamakan zaman fungsional. Suatu zaman ketika manusia melihat alam sebagai sesuatu yang fungsional.  Sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
Pemanfaatan alam secara maksimal itu telah memudahkan hidup manusia. Akan tetapi, paradigma funsional ini menjadikan manusia berkecenderungan eksploitatif terhadap alam. Alam menjadi terkuras habis. Manusia menjadi mekhluk pengisap yang paling serakah. Fenomena alam saat ini memberikan sinyal bagaimana manusia benar-benar memaksimalkan eksploitasinya terhadap alam. Manusia menjadi tidak manusiawi.  Padahal, keotonoman manusia terhadap alam pada awalnya adalah proyek filsafat modern untuk memanusiakan manusia. Akan tetapi keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang unggul itulah yang membuat manusia menjadi semena-mena.
Teknologi memang telah mengubah peradaban manusia. Akan tetapi, ia juga mengubah wajah manusia. Dari wajah manusia yang ramah menjadi wajah manusia yang tidak ramah. Dampaknya kini terasa bagi manusia. Alam juga menjadi tidak lagi ramah dengan manusia. Karena alam tidak lagi dihormati sebagai sesuatu yang agung. Alam sudah masuk ke dalam kendali manusia melalui teknologi. Tetapi, tidak setiap waktu alam dapat ditundukkan oleh teknologi. Ini menjadi ketakutan baru manusia terhadap alam.
Jadi, memang teknologi telah memuluskan kehidupan manusia. Akan tetapi, teknologi juga dapat mengendalikan manusia. Karena itu, bersikap ramahlah terhadap alam. Jadikan alam juga sebagai sahabat bagi manusia.