Setiap orang memahami kesulitan menundukkan
kenyataan melalui bahasa.
Kalimat di atas saya kutip dari esai
Radhar Panca Dahana berjudul “Krisis Teater dan Tubuh yang Mentah” (Kompas,
2 April 2006). Saya pikir pernyataan di atas menarik sekali. Kalimat itu
menyiratkan bahwa bahasa diyakini tidak dapat lagi menampung realitas sekarang
yang begitu kompleks. Tentu di sini Radhar berusaha menandai pada satu hal, yakni
bahasa Indonesia, yang dianggapnya stagnan.
Dalam kritiknya terhadap dunia teater,
bahasa teater menjadi stagnan, digantikan oleh bahasa tubuh dan gerak. Ini
terlihat dari tidak begitu berperannya naskah dibandingkan kekuatan gerak aktor.
Dalam bahasa Radhar, bahasa akhirnya hanya menjadi salah satu perangkat
panggung yang dengan ketiadaannya pun tidak akan menghancurkan bangunan teater
yang ada. Bahkan, bahasa drama Putu Wijaya pun seringkali pemaknaannya kosong,
dalam arti semantika bahasa, karena pemunculan makna lebih disebabkan impresi
atau simbolisme verbalnya saja. Semacam “linguistic game”. Ini mengingatkan
saya teori bahasa Wittgeinstein “Language game”, di mana baginya tidak ada
bahasa yang mutlak yang dapat mengatasi seluruh kenyataan, tetapi bahasa hanya
permainan pola-pola yang dibentuk masyarakat, dan oleh karena itu sangat
beragam, sesuai dengan konvensi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini,
jika dihubungkan dengan pernyataan Radhar, bahasa Indonesia tidak melahirkan
kreativitas dan oleh karena itu tidak berkembang.
Lalu bagaimana dengan metafor? Metafor
adalah sebentuk perumpamaan yang merepresntasi suatu kenyataan. Apakah itu
berarti metafor lahir dari ketiadaan penanda dari sebuah realitas? Nanti dulu.
Mungkin kurang pas kalau kita sebut demikian. Metafor adalah gejala berbahasa,
terutama dalam bahasa sastra. Bahasa sastra memiliki kekhasan, yang selalu
mencoba berlari dari bahasa representasi karena keinginannya yang selalu ingin
menjelajah ruang-ruang lain yang tidak tersentuh oleh bahasa sehari-hari. Lalu
lahir metafor.
Namun, tentu saja sulit kalau
kemudian, seperti yang disarankan oleh rekan saya, bahasa ilmiah kemudian
menggunakan bahasa metafor. Mengapa disebut sulit? Karena bahasa ilmiah lebih
menekankan pada komunikasi, bukan ekspresi. Artinya bagaimana pesan dapat
diterima dengan baik oleh pembaca, itu yang lebih diutamakan. Kalau kemudian
bahasa bersayap (metafor) itu digunakan, lalu bagaimana komunikasi dapat
terjalin lebih efektif? Karena metafor menyarankan banyaknya tafsiran yang justru
dalam dunia sastra adalah hal yang sah-sah saja. Di sinilah kemudian dibutuhkan
kepandaian penulis. Bagaimana kemudian ruang berpikirnya dapat diturunkan dan
disederhanakan dalam bahasa tertulis. Memang menjadi persoalan ketika bahasa
yang ada tidak dapat menampung pikiran penulis. Mungkin di sinilah PR ahli
bahasa, tapi saat ini bukan yang ingin dibahas penulis. Metafor pada akhirnya
semacam pelarian penulis ketika ia tidak dapat menemukan padanan yang tepat
(atau mungkin tidak dapat menyampaikan pikiran dengan tepat?) dalam bahasa.
Bahasa memang rumit, namun sekaligus
menarik. Karena bahasalah, manusia melahirkan budaya. Namun bahasa pula membuat
orang berkuasa. Hal ini diungkapkan oleh feminisme yang melihat bahwa bahasa
mengandung ideologi terselubung. Artinya, bahasa tidak pernah benar-benar
netral. Tapi bahasa juga bisa dianggap subversi.
Lewat bahasa, feminisme menggugat
konsep-konsep yang ada, terutama misalnya konsep dikotomik yang seakan-akan
alamiah : maskulin-feminin, malam-siang, jiwa-tubuh.
Jika kemudian tubuh seperti menjadi
sebuah perayaan besar, hal itu tidak lain disebabkan oleh terkuburnya konsep
tubuh selama-berabad-abad oleh jiwa atau rasio. Tubuh dinomorduakan. Dianggap
sebagai sesuatu yang tidak abadi, kotor, dan menjijikkan. Foucalt dengan jelas
mengupas bagaimana “tubuh” dinormakan oleh zaman Victoria dengan label
“sopan-mesum” atau “sehat-tidak waras”. Tubuh kemudian bukan lagi milik orang
itu sendiri, tapi sudah milik negara dan oleh karena itu negara berhak untuk
mendisiplinkannya. Jadi tak hanya pada filsafat, tubuh dinomorduakan (Plato,
Descartes), tapi juga oleh negara. Inilah yang menjadi titik tekan perjuangan
feminisme, terutama yang diwakili oleh feminisme posmodern.
Salah satu perjuangan yang dilakukan
oleh kaum feminisme ini yaitu dengan melakukan strategi bahasa. Helene Cixous,
seorang pengarang sekaligus filsuf, mengajak para penulis untuk keluar dari
sistem bahasa yang ada, karena semuanya sudah di dalam sistem patriarki, dan menawarkan
untuk menulis dengan bahasa sendiri. Seperti apakah bahasa yang feminin itu?
“Bahasa yang penuh passion, sementara bahasa laki-laki adalah bahasa
yang monoton, rigid, dan teratur karena dipenuhi oleh logika phallus,” demikian
kira-kira kata Helene Cixous.
Demikianlah. Sudah saatnya melakukan
perayaan tubuh dengan menggunakan bahasa sendiri. Bahasa yang keluar dari mulut
perempuan tanpa dibayang-bayangi oleh norma-norma yang ada yang dianggap sangat
bias patriarki.
Lalu perayaan tubuh itu tampak jelas
pada karya-karya Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, atau Dinar Rahayu. Tubuh yang
bersuara sendiri. Melepaskan norma-norma yang ada. Sebagian menggunakan
metafor, sebagian lagi dengan bahasa yang sangat verbal. Tapi apakah kemudian suara
yang muncul itu adalah suara perempuan seperti yang diharapkan Cixous? Entahlah.
Jika kemudian hasilnya itu terlihat dari begitu banyaknya pro-kontra seputar
karya-karya mereka, mungkin para penulis perempuan berhasil membawa pembaca ke
dalam situasi baru, di mana hendaknya cara pandang tubuh dan seksualitas, tidak hanya dimiliki
dan dibuat oleh laki-laki tapi juga perempuan. Tapi apakah bahasa yang
digunakan benar-benar bahasa feminin, saya pikir tidak juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar