Rabu, 20 Februari 2013

Krisis Bahasa dan Perayaan Tubuh


Setiap orang memahami kesulitan menundukkan kenyataan melalui bahasa.
Kalimat di atas saya kutip dari esai Radhar Panca Dahana berjudul “Krisis Teater dan Tubuh yang Mentah” (Kompas, 2 April 2006). Saya pikir pernyataan di atas menarik sekali. Kalimat itu menyiratkan bahwa bahasa diyakini tidak dapat lagi menampung realitas sekarang yang begitu kompleks. Tentu di sini Radhar berusaha menandai pada satu hal, yakni bahasa Indonesia, yang dianggapnya stagnan.
Dalam kritiknya terhadap dunia teater, bahasa teater menjadi stagnan, digantikan oleh bahasa tubuh dan gerak. Ini terlihat dari tidak begitu berperannya naskah dibandingkan kekuatan gerak aktor. Dalam bahasa Radhar, bahasa akhirnya hanya menjadi salah satu perangkat panggung yang dengan ketiadaannya pun tidak akan menghancurkan bangunan teater yang ada. Bahkan, bahasa drama Putu Wijaya pun seringkali pemaknaannya kosong, dalam arti semantika bahasa, karena pemunculan makna lebih disebabkan impresi atau simbolisme verbalnya saja. Semacam “linguistic game”. Ini mengingatkan saya teori bahasa Wittgeinstein “Language game”, di mana baginya tidak ada bahasa yang mutlak yang dapat mengatasi seluruh kenyataan, tetapi bahasa hanya permainan pola-pola yang dibentuk masyarakat, dan oleh karena itu sangat beragam, sesuai dengan konvensi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, jika dihubungkan dengan pernyataan Radhar, bahasa Indonesia tidak melahirkan kreativitas dan oleh karena itu tidak berkembang.
Lalu bagaimana dengan metafor? Metafor adalah sebentuk perumpamaan yang merepresntasi suatu kenyataan. Apakah itu berarti metafor lahir dari ketiadaan penanda dari sebuah realitas? Nanti dulu. Mungkin kurang pas kalau kita sebut demikian. Metafor adalah gejala berbahasa, terutama dalam bahasa sastra. Bahasa sastra memiliki kekhasan, yang selalu mencoba berlari dari bahasa representasi karena keinginannya yang selalu ingin menjelajah ruang-ruang lain yang tidak tersentuh oleh bahasa sehari-hari. Lalu lahir metafor.
Namun, tentu saja sulit kalau kemudian, seperti yang disarankan oleh rekan saya, bahasa ilmiah kemudian menggunakan bahasa metafor. Mengapa disebut sulit? Karena bahasa ilmiah lebih menekankan pada komunikasi, bukan ekspresi. Artinya bagaimana pesan dapat diterima dengan baik oleh pembaca, itu yang lebih diutamakan. Kalau kemudian bahasa bersayap (metafor) itu digunakan, lalu bagaimana komunikasi dapat terjalin lebih efektif? Karena metafor menyarankan banyaknya tafsiran yang justru dalam dunia sastra adalah hal yang sah-sah saja. Di sinilah kemudian dibutuhkan kepandaian penulis. Bagaimana kemudian ruang berpikirnya dapat diturunkan dan disederhanakan dalam bahasa tertulis. Memang menjadi persoalan ketika bahasa yang ada tidak dapat menampung pikiran penulis. Mungkin di sinilah PR ahli bahasa, tapi saat ini bukan yang ingin dibahas penulis. Metafor pada akhirnya semacam pelarian penulis ketika ia tidak dapat menemukan padanan yang tepat (atau mungkin tidak dapat menyampaikan pikiran dengan tepat?) dalam bahasa.
Bahasa memang rumit, namun sekaligus menarik. Karena bahasalah, manusia melahirkan budaya. Namun bahasa pula membuat orang berkuasa. Hal ini diungkapkan oleh feminisme yang melihat bahwa bahasa mengandung ideologi terselubung. Artinya, bahasa tidak pernah benar-benar netral. Tapi bahasa juga bisa dianggap subversi.
Lewat bahasa, feminisme menggugat konsep-konsep yang ada, terutama misalnya konsep dikotomik yang seakan-akan alamiah : maskulin-feminin, malam-siang, jiwa-tubuh.
Jika kemudian tubuh seperti menjadi sebuah perayaan besar, hal itu tidak lain disebabkan oleh terkuburnya konsep tubuh selama-berabad-abad oleh jiwa atau rasio. Tubuh dinomorduakan. Dianggap sebagai sesuatu yang tidak abadi, kotor, dan menjijikkan. Foucalt dengan jelas mengupas bagaimana “tubuh” dinormakan oleh zaman Victoria dengan label “sopan-mesum” atau “sehat-tidak waras”. Tubuh kemudian bukan lagi milik orang itu sendiri, tapi sudah milik negara dan oleh karena itu negara berhak untuk mendisiplinkannya. Jadi tak hanya pada filsafat, tubuh dinomorduakan (Plato, Descartes), tapi juga oleh negara. Inilah yang menjadi titik tekan perjuangan feminisme, terutama yang diwakili oleh feminisme posmodern.
Salah satu perjuangan yang dilakukan oleh kaum feminisme ini yaitu dengan melakukan strategi bahasa. Helene Cixous, seorang pengarang sekaligus filsuf, mengajak para penulis untuk keluar dari sistem bahasa yang ada, karena semuanya sudah di dalam sistem patriarki, dan menawarkan untuk menulis dengan bahasa sendiri. Seperti apakah bahasa yang feminin itu? “Bahasa yang penuh passion, sementara bahasa laki-laki adalah bahasa yang monoton, rigid, dan teratur karena dipenuhi oleh logika phallus,” demikian kira-kira kata Helene Cixous.
Demikianlah. Sudah saatnya melakukan perayaan tubuh dengan menggunakan bahasa sendiri. Bahasa yang keluar dari mulut perempuan tanpa dibayang-bayangi oleh norma-norma yang ada yang dianggap sangat bias patriarki.
Lalu perayaan tubuh itu tampak jelas pada karya-karya Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, atau Dinar Rahayu. Tubuh yang bersuara sendiri. Melepaskan norma-norma yang ada. Sebagian menggunakan metafor, sebagian lagi dengan bahasa yang sangat verbal. Tapi apakah kemudian suara yang muncul itu adalah suara perempuan seperti yang diharapkan Cixous? Entahlah. Jika kemudian hasilnya itu terlihat dari begitu banyaknya pro-kontra seputar karya-karya mereka, mungkin para penulis perempuan berhasil membawa pembaca ke dalam situasi baru, di mana hendaknya cara pandang  tubuh dan seksualitas, tidak hanya dimiliki dan dibuat oleh laki-laki tapi juga perempuan. Tapi apakah bahasa yang digunakan benar-benar bahasa feminin, saya pikir tidak juga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar