Minggu, 24 Februari 2013

Teknologi: Memudahkan atau Menyengsarakan Manusia?

oleh Muhamad Adji

Apakah yang Anda rasakan ketika menyadari bahwa telepon seluler Anda tertinggal di rumah sementara tempat Anda bekerja atau  menuntut ilmu begitu jauh jaraknya dari rumah Anda? Merasa dunia Anda hancur satu hari itu? Apakah perasaan itu ada ketika 10 atau 15 tahun yang lalu, ketika Anda tidak pernah mengenal makhluk seperti apakah telepon seluler itu?

            Demikianlah. Teknologi telah mengubah wajah dunia. Ia juga telah mengubah  hidup manusia. Dulu, kita tidak merasa kalau hidup kita dikendalikan oleh teknologi. Toh, teknologi diciptakan oleh manusia dengan tujuan untuk memudahkan kehidupan manusia. Akan tetapi, sadarkan kita kalau sekarang kita telah dikendalikan oleh teknologi?
        Kalau kita telusuri jauh sejak manusia mulai mengenal peradaban, teknologi adalah buah dari ilmu pengetahuan. Lalu, apakah ilmu pengetahuan itu? Ilmu pengetahuan adalah bentuk dari jawaban manusia akan kehidupan di dunia ini yang telah terstruktur dan tersistematis. Tapi, tahukah kita, dalam masa primitif manusia, bagaimana manusia menuntaskan keingintahuan mereka atas misteri alam semesta ini?
          Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia tidak mengenal dengan jelas alam semesta ini. Bagi  manusia, alam semesta adalah mesteri besar yang tidak terpecahkan. Karena alam semesta adalah misteri, maka ia tidak bisa ditundukkan. Di mana-mana, misteri selalu mengundang rasa penasaran, sekaligus mengundang rasa ketakutan. Karena manusia tidak dapat memahami dunia dengan jelas, manusia akhirnya tunduk pada alam. Bagaimana implementasi dari sifat ketundukan manusia terhadap alam? Dengan cara mendewakan alam. Bagaimana implementasi manusia akan keawamannya terhadap misteri alam semesta? Dengan menciptakan mitos. Mitos adalah narasi yang diciptakan manusia dalam memberikan jawaban atas segala fenomena alam semesta. Dalam mitologi Yunani, narasi-narasi diciptakan untuk meberikan jawaban. Maka kita akan mengenal nama-nama Dewa sebagai representasi alam semesta yang misterius. Jika laut sedang terjadi badai, kita akan tahun bahwa Dewa Neptunus sebagai representasi laut sedang marah. Atau jika terjadi petir dan guruh yang sambung-menyambung, itu tandanya Dewa Zeus sedang menunaikan amarahnya. Manusia pada akhirnya menjadi takluk terhadap alam. Manusia menghormati alam sebagai sesuatu yang maha. Dalam Van Peursen, realitas seperti itu menempatkan manusia sebagai bagian kecil dari alam semesta. Manusia berada dalam lingkaran alam semesta. manusia adalah mikrokosmos, sedangkan alam semesta adalah makrokosmos. Ini memberikan ketundukan yang penuh dari manusia terhadap alam. Manusia menjadi subordinat dari alam.
Bagi Descastes, seorang filsuf yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern, hal itu menjadikan manusia tidak otonom atas dirinya. Dengan ketundukannya itu, manusia menjadi bergantung pada sesuatu yang lain. Padahal, sebagai subjek yang memiliki eksistensi, manusia harus yakin pada dirinya.  Memang, dalam setiap aktivitas yang melibatkan alam, manusia seperti berada dalam bayang-bayang alam. Dalam budaya di Indonesia, masih kerap kita temui ritual-ritual yang memberikan simbol akan ketundukan manusia terhadap alam semesta. dalam mitos Dewi Sri sebagai representai padi, para petani melakukan ritual terlebih dahulu sebelum menanam padi. Ritual ini adalah suatu bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Padi. Dengan  melakukan ritual padi, diyakini padi yang ditanam akan tumbuh dengan subur. Bagi yang tidak atau lalai melakukan ritual, diyakini tanaman padi yang ditanamnya akan berbuah jelek. Teknologi telah memupuskan mitos itu. Sekarang paradigma berubah. Padi menjadi subur karena dikelola dan diberi pupuk dengan menggunakan tekonologi modern. Begitu juga jika terjadi petir. Kita segera tahu bahwa sedang terjadi gesekan-gesekan gelombang elektromagnetik di udara. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah mitos tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dengan penggunaan gelombang elektromagnetik yang ada di udara, kita mengenal televisi, kita mengenal radio, dan yang terkini kita mengenal telepon seluler.
Apa yang salah dari semua itu? Bukankah kita menjadi dimudahkan? Bukankah hidup manusia menjadi lebih tertata? Dengan bantuan teknologi, kita dapat mengenal peristiwa di belahan dunia Eropa hanya sepersekian detik setelah peristiwa itu terjadi. Bayangkan hal itu dua puluh tahun yang lalu? Dengan bantuan teknologi, kita dapat mencapai Benua Amerika atau Afrika hanya dalam hitungan jam. Bayangkan hal itu seratus tahun yang lalu? Tidak dapat dimungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia untuk menjejakkan kakinya ke dalam peradaban yang baru.
Van Peursen mengatakan, ilmu pengetahuan telah menjadi manusia memiliki posisi yang sejajar dengan alam. Manusia tidak lagi merasa takut dengan misteri alam. Ketakutan itu berasal dari ketidaktahuan manusia. Ketika manusia tahu, alam yang misterius tidak memberikan efek yang menakutkan lagi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia memandang alam sebagai sesuatu yang objektif, nyata, dan terukur. Teknologi, sebagai kelanjutan ilmu pengatahuan, telah menjadi manusia dapat memanfaatkan alam semesta dengan baik. Karena alam telah diketahui dengan pasti, alam kemudian digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia. Dalam pandangan Peursen, inilah yang dinamakan zaman fungsional. Suatu zaman ketika manusia melihat alam sebagai sesuatu yang fungsional.  Sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
Pemanfaatan alam secara maksimal itu telah memudahkan hidup manusia. Akan tetapi, paradigma funsional ini menjadikan manusia berkecenderungan eksploitatif terhadap alam. Alam menjadi terkuras habis. Manusia menjadi mekhluk pengisap yang paling serakah. Fenomena alam saat ini memberikan sinyal bagaimana manusia benar-benar memaksimalkan eksploitasinya terhadap alam. Manusia menjadi tidak manusiawi.  Padahal, keotonoman manusia terhadap alam pada awalnya adalah proyek filsafat modern untuk memanusiakan manusia. Akan tetapi keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang unggul itulah yang membuat manusia menjadi semena-mena.
Teknologi memang telah mengubah peradaban manusia. Akan tetapi, ia juga mengubah wajah manusia. Dari wajah manusia yang ramah menjadi wajah manusia yang tidak ramah. Dampaknya kini terasa bagi manusia. Alam juga menjadi tidak lagi ramah dengan manusia. Karena alam tidak lagi dihormati sebagai sesuatu yang agung. Alam sudah masuk ke dalam kendali manusia melalui teknologi. Tetapi, tidak setiap waktu alam dapat ditundukkan oleh teknologi. Ini menjadi ketakutan baru manusia terhadap alam.
Jadi, memang teknologi telah memuluskan kehidupan manusia. Akan tetapi, teknologi juga dapat mengendalikan manusia. Karena itu, bersikap ramahlah terhadap alam. Jadikan alam juga sebagai sahabat bagi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar