Senin, 25 Februari 2013

Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (Bagian 2)


2. Nasionalisme

Dhakidae, dalam pengantarnya di Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang (2008), menyatakan bahwa konsep “bangsa” atau “kebangsaan” menimbulkan keruwetan yang  dalam, terutama jika diikuti jejaknya dalam sejarah. Karena kekompleksannya itu pula, nasionalisme juga dapat ditafsirkan dengan berbagai perspektif.

Kohn (1984: 11) memiliki pendapat bahwa nasion atau bangsa didirikan oleh faktor-faktor kesamaan objektif yang membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain seperti bahasa, adat-istiadat, persamaan turunan, atau agama. Tetapi, Kohn sendiri  menyatakan bahwa hal-hal di atas bukanlah faktor hakiki sebagai penentu hadirnya suatu bangsa. Definisi Anderson dalam hal ini lebih jelas dan lugas. Anderson (2008: 8) menyatakan bahwa nasion atau bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan memiliki kesamaan dan kebersamaan dengan ruang lingkup yang terbatas dan memiliki kedaulatan. Bangsa memang diartikan sebagai komunitas politik, karena itu bangsa diwadahi oleh negara. Dengan demikian, dapat dipahami jika misalnya, rakyat Timor-Timur tidak lagi diangggap sebagai bangsa Indonesia meskipun bertahun-tahun yang ia merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Rasa keterikatan yang dibayangkan inilah yang membuat kita dapat mengerti, seperti disampaikan  Anderson, mengapa penduduk di pesisir timur Pulau Sumatera yang secara geografis lebih dekat dengan penduduk di Semenanjung Malaka (Malaysia) bahkan memiliki kesamaan bahasa dan kesamaan agama, ternyata lebih memiliki keterikatan dengan penduduk Maluku – yang dari jarak geografisnya sangat jauh serta dari bahasa juga tidak saling mengerti – sebagai sesama orang Indonesia dan menganggap orang di Semenanjung Malaka tersebut sebagai “orang asing”. Rasa keterikatan seperti itulah yang disebut nasionalisme.

Dalam kaitannya dengan negara, konsep nasionalisme sangat mudah digiring ke dalam lingkup kekuasaan. Nasionalisme tidak lagi didefinisikan sebagai pembeda “aku-dia” atau “aku-mereka”, tetapi nasionalisme di sini adalah sebentuk sikap kepatuhan terhadap “bangsa” yang diterjemahkan ke dalam konsep nasionalis-tidak nasionalis. Konsep tersebut dalam Pemerintahan Soekarno dikenal dengan revolusioner versus kontrarevolusioner, sedangkan pada masa kepemimpinan Soeharto, konsep tersebut adalah Pancasilais dan tidak Pancasilais. Ujung-ujungnya, konsep kontrarevolusioner maupun tidak pancasilais adalah konsep yang diciptakan untuk memberikan tekanan pada kelompok masyarakat yang tidak mendukung kebijakan pemerintah (Soekarno/ Soeharto) pada masa itu.

Dalam tulisan ini, nasionalisme dalam ketiga novel remaja tersebut akan dilihat dari kaitannya dengan pemerintahan Orde Baru. Hal ini terkait dengan keberadaan ketiga novel remaja itu yang diciptakan pada masa Orde Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar