2.
Nasionalisme
Dhakidae, dalam pengantarnya di Imagined
Communities: Komunitas-komunitas Terbayang (2008), menyatakan bahwa konsep
“bangsa” atau “kebangsaan” menimbulkan keruwetan yang dalam, terutama jika diikuti jejaknya dalam
sejarah. Karena kekompleksannya itu pula, nasionalisme juga dapat ditafsirkan
dengan berbagai perspektif.
Kohn (1984: 11) memiliki pendapat bahwa
nasion atau bangsa didirikan oleh faktor-faktor kesamaan objektif yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain seperti bahasa, adat-istiadat,
persamaan turunan, atau agama. Tetapi, Kohn sendiri menyatakan bahwa hal-hal di atas bukanlah
faktor hakiki sebagai penentu hadirnya suatu bangsa. Definisi Anderson dalam
hal ini lebih jelas dan lugas. Anderson (2008: 8) menyatakan bahwa nasion atau
bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan memiliki kesamaan dan
kebersamaan dengan ruang lingkup yang terbatas dan memiliki kedaulatan. Bangsa
memang diartikan sebagai komunitas politik, karena itu bangsa diwadahi oleh
negara. Dengan demikian, dapat dipahami jika misalnya, rakyat Timor-Timur tidak
lagi diangggap sebagai bangsa Indonesia meskipun bertahun-tahun yang ia
merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Rasa keterikatan yang dibayangkan
inilah yang membuat kita dapat mengerti, seperti disampaikan Anderson, mengapa penduduk di pesisir timur
Pulau Sumatera yang secara geografis lebih dekat dengan penduduk di Semenanjung
Malaka (Malaysia) bahkan memiliki kesamaan bahasa dan kesamaan agama, ternyata
lebih memiliki keterikatan dengan penduduk Maluku – yang dari jarak
geografisnya sangat jauh serta dari bahasa juga tidak saling mengerti – sebagai
sesama orang Indonesia dan menganggap orang di Semenanjung Malaka tersebut
sebagai “orang asing”. Rasa keterikatan seperti itulah yang disebut
nasionalisme.
Dalam kaitannya dengan negara, konsep nasionalisme
sangat mudah digiring ke dalam lingkup kekuasaan. Nasionalisme tidak lagi
didefinisikan sebagai pembeda “aku-dia” atau “aku-mereka”, tetapi nasionalisme
di sini adalah sebentuk sikap kepatuhan terhadap “bangsa” yang diterjemahkan ke
dalam konsep nasionalis-tidak nasionalis. Konsep tersebut dalam Pemerintahan
Soekarno dikenal dengan revolusioner versus kontrarevolusioner, sedangkan pada
masa kepemimpinan Soeharto, konsep tersebut adalah Pancasilais dan tidak
Pancasilais. Ujung-ujungnya, konsep kontrarevolusioner maupun tidak pancasilais
adalah konsep yang diciptakan untuk memberikan tekanan pada kelompok masyarakat
yang tidak mendukung kebijakan pemerintah (Soekarno/ Soeharto) pada masa itu.
Dalam tulisan ini, nasionalisme dalam ketiga
novel remaja tersebut akan dilihat dari kaitannya dengan pemerintahan Orde
Baru. Hal ini terkait dengan keberadaan ketiga novel remaja itu yang diciptakan
pada masa Orde Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar