Fenomena
banjir sudah menjadi agenda tahunan sehingga dianggap sebagai fenomena yang
wajar. Karena kehadirannya yang sudah dianggap sebagai takdir Illahi, banyak
orang yang enggan untuk meninggalkan rumah mereka meskipun banjir datang
terus-menerus menghantam rumah mereka. Tentu sejumlah pertimbangan lain juga
menjadi alasan mereka, di antaranya terkait dengan faktor sosial budaya yang
harus ditinggalkan dan faktor ekonomi.
Mempersoalkan
banjir sebenarnya mempersoalkan filosofi kehidupan kita dalam memandang alam
semesta. Dengan begitu besarnya peran manusia terhadap keadaan alam di abad
modern ini, maka sejatinya banjir tidak selamanya bisa disikapi sebagai
fenomena alam semata, tetapi juga harus dilihat sebagai bagian dari hubungan
kausalitas dengan bagaimana manusia membangun hubungan dengan lingkungannya.
Jika dilihat
dari sejarah peradaban manusia, cara hidup manusia dalam memandang alam telah
mengalami evolusi. Pada masyarakat tradisional, alam dianggap memiliki kekuatan
misterius dan magis. Oleh karena itu, masyarakat tradisional tidak sembarangan
memperlakukan alam. Setiap aktivitas manusia yang berhubungan dengan alam,
seperti penanaman dan panen padi, masyarakat tradisional selalu mengaitkannya
dengan upacara ritual. Hal itu masih
tampak pada beberapa masyarakat tradisional di Jawa Barat seperti di
Kampung Kuta, Kampung Cipta Gelar, dan Kampung Naga. Fenomena ini menandakan
bahwa pada masyarakat tradisional, alam sangat dihargai sehingga berdampak pada
sikap yang santun dan hormat dalam memperlakukan alam.
Pada abad
modern, kemisteriusan alam telah terpecahkan dengan perkembangan nalar manusia.
Seiring dengan itu, manusia menganggap alam bukan lagi sebagai entitas yang
misterius dan mengandung unsur magis, melainkan hanya sebagai objek material semata.
Dengan cara pandang itu, alam kemudian dieksplorasi dan eksploitasi dengan
kepentingan manusia. Perubahan cara pandang ini membuat manusia kehilangan rasa
hormat terdapat alam.
Untuk
memperlihatkan perubahan kecenderungan itu bisa dilihat dari beberapa contoh
sederhana di bawah ini. Tengoklah Kota Bandung sekarang. Sepuluh atau lima
belas tahun yang lalu, kita masih bisa menikmati keteduhan Kota Bandung yang
dinaungi pohon-pohon rindang dari Jalan Suci, Jalan Surapati, sampai ke Jalan Dago. Sekarang, dengan alasan
makin tidak tertampungnya kendaraan di jalan raya, pohon-pohon rindang itu
ditebangi tanpa sisa dan digantikan jalan-jalan aspal yang di siang hari makin
menambah panas. Hutan-hutan pohon di daerah Bandung Utara dulu sangat rimbun.
Sekarang, rerimbunan pohon itu mulai tergantikan dengan rumah-rumah
peristirahatan yang mungkin hanya sepekan sekali didatangi penghuninya dan
tempat-tempat konsumtif lainnya. Padahal, suburnya pepohonan diyakini sebagai
cara yang paling efektif untuk menyerap rembesan air hujan.
Dalam konteks yang lebih sempit,
perilaku kita sehari-hari juga memperlihatkan perubahan kecenderungan kita
terhadap alam. Misalnya, perilaku kita yang sangat enteng dalam membuang sampah
di sembarang tempat. Beberapa mahasiswa berkebangsaan asing yang kebetulan
diajar penulis dalam suatu kelas pernah menyampaikan keheranannya terhadap
kebiasaan orang Indonesia. Misalnya saja,
sikap pengemudi mobil yang dengan entengnya melemparkan sampah dari dalam
mobil lalu dengan entengnya meluncur begitu saja di jalanan. Bagi mereka,
membuang sampah sembarangan seperti itu adalah perbuatan yang memalukan dan
bisa mendapatkan sanksi sosial.
Memang logis jika ada yang mengatakan
bahwa pemerintah dianggap memiliki andil terhadap munculnya perilaku ini.
Regulasi seringkali tidak disertai fasilitasi dan sanksi yang tegas. Larangan
membuang sampah seharusnya juga diimbangi dengan tersedianya tempat-tempat
sampah sehingga menuntun masyarakat untuk bersikap lebih disiplin.
Ketidakdisiplinan masyarakat ini juga tidak disikapi dengan sanksi yang tegas.
Sama halnya dengan regulasi larangan merokok di tempat umum yang kini
keberadaannya menjadi kabur sehingga seperti menjadi angin lalu saja. Dengan
demikian, ini seakan-akan menjadi sistem simbiosis mutualisme yang akhirnya
berakibat fatal terhadap keberlangsungan ekosistem.
Fenomena di
atas mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah menyerap sisi lain pemikiran
manusia modern. Manusia modern adalah manusia yang menganggap dirinya sebagai
pusat semesta. Itu sudah dilakoni oleh Rene Descartes, seorang filsuf Perancis
yang terkenal dengan filosofinya “aku berpikir maka aku ada”. Dengan filosofi tersebut, ia memindahkan
pemikiran teosentris (Tuhan sebagai pusat) ke antroposentris (manusia sebagai
pusat). Dampaknya, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, tetapi juga
eksplorasi terhadap alam yang cenderung berlebihan. Celakanya, kita hanya
mengambil bagian kecil dari karekter masyarakat modern, yaitu egosentris.
Dengan menyatakan diri sebagai pusat, maka kita menafikan keberadaan yang lain.
Dengan begitu, kita telah menjadikan diri kita sebagai manusia egois.
Penghargaan terhadap
yang Lain
Filosofi
manusia tradisional Sunda bertumpu pada konsep Tritangtu. Konsep tritangtu
merupakan pandangan kosmologi manusia Sunda tradisional yang memandang bahwa
setiap entitas pada dasarnya memiliki tiga substansi (Jakob Sumardjo, 2011).
Dalam tradisi Sunda banyak kita temui ungkapan-ungkapan yang merupakan turunan
dari konsep tritangtu seperti silih asah, silih asih, silih asuh, dan tekad,
ucap, dan lampah yang merupakan turunan dari konsep tritangtu.
Konsep ini
berbeda dengan pandangan masyarakat modern Eropa yang bertumpu pada pandangan
filsafat Yunani. Plato, seorang filsuf Yunani, berpandangan bahwa pada dasarnya
setiap entitas itu terdiri atas dua subtansi. Konsep dualisme ini melahirkan konflik dan hierarkhi yang
mana substansi yang lebih dominan mengalahkan yang lain. Dominasi ini kemudian
melahirkan peniadaan terhadap yang lain sehingga pada akhirnya yang diakui
hanya diri sebagai ego. Di sinilah cikal bakal berkembangnya egosentrisme yang
juga menjadi landasan manusia modern.
Dalam konsep
tritangtu diakui adanya entitas ketiga yang menjadi jalan tengah atas konsep
dualisme. Dalam konsep ini, yang dibangun bukanlah konflik yang berakhir pada
adanya pihak yang menang dan adanya pihak yang dikalahkan, melainkan harmoni di
antara keduanya. Jika dalam manajemen modern ada istilah win-win solution,
dalam falsafah Sunda jauh-jauh hari kebijaksanaan itu sudah terdapat pada ungkapan
beunang laukna, herang caina, yang mengambarkan adanya kemanfaatan bersama yang
bisa didapatkan oleh semua pihak tanpa harus saling merugikan. Ini merupakan
turunan dari sikap menghargai atas keberadaan yang lain di luar dirinya
sehingga yang dipikirkan tidak hanya dirinya tetapi juga yang lain.
Namun, tentu
saja menjadi paradoks jika dikaitkan dengan kenyataan yang ada saat ini.
Fenomena yang saya sebutkan di atas menggambarkan bahwa baik masyarakat maupun
pemerintah baru sampai pada tahap peduli pada diri sendiri, belum berpikir
tentang hal di luar dirinya. Banjir, dengan demikian, merupakan jawaban atas
sikap kita yang masih memelihara egosentrisme.
Tampaknya, memang kita perlu menggali kembali nilai tradisi kesundaan
yang dikontekstualkan dalam kehidupan modern saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar