Rabu, 20 Februari 2013

Banjir, Filosofi Sunda, dan Masyarakat Modern


            Fenomena banjir sudah menjadi agenda tahunan sehingga dianggap sebagai fenomena yang wajar. Karena kehadirannya yang sudah dianggap sebagai takdir Illahi, banyak orang yang enggan untuk meninggalkan rumah mereka meskipun banjir datang terus-menerus menghantam rumah mereka. Tentu sejumlah pertimbangan lain juga menjadi alasan mereka, di antaranya terkait dengan faktor sosial budaya yang harus ditinggalkan dan faktor ekonomi.
            Mempersoalkan banjir sebenarnya mempersoalkan filosofi kehidupan kita dalam memandang alam semesta. Dengan begitu besarnya peran manusia terhadap keadaan alam di abad modern ini, maka sejatinya banjir tidak selamanya bisa disikapi sebagai fenomena alam semata, tetapi juga harus dilihat sebagai bagian dari hubungan kausalitas dengan bagaimana manusia membangun hubungan dengan lingkungannya.
            Jika dilihat dari sejarah peradaban manusia, cara hidup manusia dalam memandang alam telah mengalami evolusi. Pada masyarakat tradisional, alam dianggap memiliki kekuatan misterius dan magis. Oleh karena itu, masyarakat tradisional tidak sembarangan memperlakukan alam. Setiap aktivitas manusia yang berhubungan dengan alam, seperti penanaman dan panen padi, masyarakat tradisional selalu mengaitkannya dengan upacara ritual. Hal itu masih  tampak pada beberapa masyarakat tradisional di Jawa Barat seperti di Kampung Kuta, Kampung Cipta Gelar, dan Kampung Naga. Fenomena ini menandakan bahwa pada masyarakat tradisional, alam sangat dihargai sehingga berdampak pada sikap yang santun dan hormat dalam memperlakukan alam.
            Pada abad modern, kemisteriusan alam telah terpecahkan dengan perkembangan nalar manusia. Seiring dengan itu, manusia menganggap alam bukan lagi sebagai entitas yang misterius dan mengandung unsur magis, melainkan hanya sebagai objek material semata. Dengan cara pandang itu, alam kemudian dieksplorasi dan eksploitasi dengan kepentingan manusia. Perubahan cara pandang ini membuat manusia kehilangan rasa hormat terdapat alam.
            Untuk memperlihatkan perubahan kecenderungan itu bisa dilihat dari beberapa contoh sederhana di bawah ini. Tengoklah Kota Bandung sekarang. Sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, kita masih bisa menikmati keteduhan Kota Bandung yang dinaungi pohon-pohon rindang dari Jalan Suci, Jalan Surapati,  sampai ke Jalan Dago. Sekarang, dengan alasan makin tidak tertampungnya kendaraan di jalan raya, pohon-pohon rindang itu ditebangi tanpa sisa dan digantikan jalan-jalan aspal yang di siang hari makin menambah panas. Hutan-hutan pohon di daerah Bandung Utara dulu sangat rimbun. Sekarang, rerimbunan pohon itu mulai tergantikan dengan rumah-rumah peristirahatan yang mungkin hanya sepekan sekali didatangi penghuninya dan tempat-tempat konsumtif lainnya. Padahal, suburnya pepohonan diyakini sebagai cara yang paling efektif untuk menyerap rembesan air hujan. 
Dalam konteks yang lebih sempit, perilaku kita sehari-hari juga memperlihatkan perubahan kecenderungan kita terhadap alam. Misalnya, perilaku kita yang sangat enteng dalam membuang sampah di sembarang tempat. Beberapa mahasiswa berkebangsaan asing yang kebetulan diajar penulis dalam suatu kelas pernah menyampaikan keheranannya terhadap kebiasaan orang Indonesia. Misalnya saja,  sikap pengemudi mobil yang dengan entengnya melemparkan sampah dari dalam mobil lalu dengan entengnya meluncur begitu saja di jalanan. Bagi mereka, membuang sampah sembarangan seperti itu adalah perbuatan yang memalukan dan bisa mendapatkan sanksi sosial.
Memang logis jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah dianggap memiliki andil terhadap munculnya perilaku ini. Regulasi seringkali tidak disertai fasilitasi dan sanksi yang tegas. Larangan membuang sampah seharusnya juga diimbangi dengan tersedianya tempat-tempat sampah sehingga menuntun masyarakat untuk bersikap lebih disiplin. Ketidakdisiplinan masyarakat ini juga tidak disikapi dengan sanksi yang tegas. Sama halnya dengan regulasi larangan merokok di tempat umum yang kini keberadaannya menjadi kabur sehingga seperti menjadi angin lalu saja. Dengan demikian, ini seakan-akan menjadi sistem simbiosis mutualisme yang akhirnya berakibat fatal terhadap keberlangsungan ekosistem.
            Fenomena di atas mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah menyerap sisi lain pemikiran manusia modern. Manusia modern adalah manusia yang menganggap dirinya sebagai pusat semesta. Itu sudah dilakoni oleh Rene Descartes, seorang filsuf Perancis yang terkenal dengan filosofinya “aku berpikir maka aku ada”.  Dengan filosofi tersebut, ia memindahkan pemikiran teosentris (Tuhan sebagai pusat) ke antroposentris (manusia sebagai pusat). Dampaknya, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, tetapi juga eksplorasi terhadap alam yang cenderung berlebihan. Celakanya, kita hanya mengambil bagian kecil dari karekter masyarakat modern, yaitu egosentris. Dengan menyatakan diri sebagai pusat, maka kita menafikan keberadaan yang lain. Dengan begitu, kita telah menjadikan diri kita sebagai manusia egois.

Penghargaan terhadap yang Lain
            Filosofi manusia tradisional Sunda bertumpu pada konsep Tritangtu. Konsep tritangtu merupakan pandangan kosmologi manusia Sunda tradisional yang memandang bahwa setiap entitas pada dasarnya memiliki tiga substansi (Jakob Sumardjo, 2011). Dalam tradisi Sunda banyak kita temui ungkapan-ungkapan yang merupakan turunan dari konsep tritangtu seperti silih asah, silih asih, silih asuh, dan tekad, ucap, dan lampah yang merupakan turunan dari konsep tritangtu.
            Konsep ini berbeda dengan pandangan masyarakat modern Eropa yang bertumpu pada pandangan filsafat Yunani. Plato, seorang filsuf Yunani, berpandangan bahwa pada dasarnya setiap entitas itu terdiri atas dua subtansi. Konsep dualisme  ini melahirkan konflik dan hierarkhi yang mana substansi yang lebih dominan mengalahkan yang lain. Dominasi ini kemudian melahirkan peniadaan terhadap yang lain sehingga pada akhirnya yang diakui hanya diri sebagai ego. Di sinilah cikal bakal berkembangnya egosentrisme yang juga menjadi landasan manusia modern.
            Dalam konsep tritangtu diakui adanya entitas ketiga yang menjadi jalan tengah atas konsep dualisme. Dalam konsep ini, yang dibangun bukanlah konflik yang berakhir pada adanya pihak yang menang dan adanya pihak yang dikalahkan, melainkan harmoni di antara keduanya. Jika dalam manajemen modern ada istilah win-win solution, dalam falsafah Sunda jauh-jauh hari kebijaksanaan itu sudah terdapat pada ungkapan beunang laukna, herang caina, yang mengambarkan adanya kemanfaatan bersama yang bisa didapatkan oleh semua pihak tanpa harus saling merugikan. Ini merupakan turunan dari sikap menghargai atas keberadaan yang lain di luar dirinya sehingga yang dipikirkan tidak hanya dirinya tetapi juga yang lain.
            Namun, tentu saja menjadi paradoks jika dikaitkan dengan kenyataan yang ada saat ini. Fenomena yang saya sebutkan di atas menggambarkan bahwa baik masyarakat maupun pemerintah baru sampai pada tahap peduli pada diri sendiri, belum berpikir tentang hal di luar dirinya. Banjir, dengan demikian, merupakan jawaban atas sikap kita yang masih memelihara egosentrisme.  Tampaknya, memang kita perlu menggali kembali nilai tradisi kesundaan yang dikontekstualkan dalam kehidupan modern saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar