Rabu, 27 Februari 2013

Nasionalisme dalam Bingkai Novel Populer (4)


4. Jejak Nasionalisme pada Tokoh Ali Topan, Lupus, dan Balada Si Roy

Merekam jejak nasionalisme pada setiap zaman tentu bukanlah merupakan suatu usaha yang mudah. Hal ini dapat dipahami karena setiap zaman memiliki persepsi masing-masing mengenai sikap kebangsaan. Jadi, dapat saja dalam implementasinya persepsi tentang nasionalisme tersebut berubah-ubah atau bergerak secara dinamis sesuai dengan tafsiran zamannya.

Tiga tokoh remaja yang dijadikan objek penelitian ini merupakan tokoh yang lahir dari zaman yang berbeda. Ali Topan adalah representasi tokoh remaja tahun 70-an, saat terjadi masa transisi perubahan arah kepemimpinan nasional Indonesia. Sementara itu, Lupus dan Roy adalah representasi remaja 80-an saat kepemimpinan nasional (Soeharto) mulai menapaki tingkat kematangannya (lihat pengantar Dhakidae dalam Imagined Communities). Dilihat dari sisi waktu, kedua tokoh terakhir merupakan tokoh yang lahir bersamaan. Akan tetapi,  itu tidak menjamin bahwa kedua tokoh tersebut memiliki perspektif yang sama mengenai nasionalisme. Ketiga novel ini memiliki kunci yang sama: meskipun lahir dalam generasi yang berbeda-beda, ketiga novel tersebut lahir pada masa Orde Baru. Hanya saja, meminjam bahasa Dhakidae, perbeda annya terletak pada tingkat pengerasan kekuasaan Orde Baru terhadap rakyat Indonesia yang berbeda-beda.

Ali Topan adalah remaja yang lahir pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Tokoh ini menjadi representasi remaja pada tahun 70-an. Novel Ali Topan Anak Jalanan menggambarkan realitas sosial keluarga kelas atas Jakarta yang merupakan poros transisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah teks, novel ini dengan jeli mengangkat kehidupan kota metropolitan yang mulai tersentuh oleh nilai-nilai baru: materialisme, hedonisme, dan tergerusnya nilai-nilai moral. 

Novel ini terbit pada 1977, ketika pemerintahan Orde Baru masih menata diri setelah konflik ideologis yang terjadi pada 1965-an. Jika disimak lebih jauh lagi, ada kemungkinan pada masa itu Indonesia sedang menapaki  model perekonomian yang dicanangkan Soeharto yang dikenal dengan politik ekonomi pembangunan. Pada masa itu, investasi mulai digalakkan, perekomian bergerak setahap demi setahap dengan program pemerintah yang dikenal dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Akan tetapi, pembangunan ekonomi ini ada konsekuensinya: stabilitas politik diperkuat agar tidak mengganggu perekonomian Indonesia yang sedang berkembang. Berkembangnya perekonomian tersebut tampak dari berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kota Jakarta. Produk-produk teknologi dari luar negeri masuk dengan mudah ke Indonesia sehingga dikonsumsi oleh masyarakat Jakarta. Hal itu terlihat dari kutipan di bawah ini.
           
“He, Bajingan!” seorang pengendara Toyota Corolla 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampir ditubruknya (hlm. 2)

            Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan CS. (hlm.3)

            Ketika Dudung mengunjunginya pertama kali  pada suatu malam Minggu,  di rumah Meiske itu berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngos-ngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng Remember Me. (hlm. 211)

Pada kutipan di atas, merek-merek mobil keluaran luar negeri dengan berbagai tipe menjadi kosakata biasa. Hal ini menandakan bahwa merek-merek mobil tersebut sudah menjadi konsumsi dan bagian dari gaya hidup bangsa Indonesia pada masa itu. Akan tetapi, kemakmuran tersebut diakui tokoh tidak terlepas dari hutang pemerintah Indonesia kepada pihak asing. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal itu.

“Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak, macks?” kata Gevaert, “yang penting kan bayar. Pemerintah kita kan juga suka ngutang sama IGGI,” tambahnya. (hlm. 29)

IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) adalah kelompok negara pendonor yang diketuai Belanda, yang membantu pembangunan Indonesia selama periode 1967-1991 (Usman, suryaonline.co.id). Pada saat itu, Indonesia dalam masa pembangunan sehingga banyak menggantungkan keuangan negara dengan melakukan pinjaman pada IGGI. Menurut Usman, terbentuknya lembaga ini diawali dengan keberhasilan pemerintah Indonesia menggalang dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam forum Paris Club. Setelah itu, muncullah gagasan akan perlunya suatu forum antarpemerintah yang memberikan dukungan baik dana pinjaman maupun pemikiran terhadap arah pembangunan Indonesia. hal itulah yang membuat perekonomian Indonesia berangsur-angsur membaik.

Penggalan percakapan di atas bukan hanya sebatas deskripsi, tetapi juga menyiratkan sebuah kritik terhadap pemerintah Indonesia. Dari sinilah, mulai tergambar penokohan Ali Topan. Ali Topan digambarkan sebagai sosok yang cerdas sekaligus pembangkang.  Hal itu tampak dari kutipan-kutipan di bawah ini.
           
Buat Ali Topan tak sulit mengggarap soal ulangan itu. Ali Topan adalah murid terpandai di sekolahnya sejak kelas satu dulu. Kecerdasannya di atas rata-rata anak seusianya….. Teman-teman bahkan gurunya heran, bagaimana mungkin anak berandal yang tak pernah terlihat belajar, tampak santai di sekolah itu dapat menjadi murid terpandai di sekolah… (hlm. 69)

            …. Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku. Ada buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku karya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden pertama Republik Indonesia itu. Ada buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesia lama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa.… Di antara buku-buku itu terkadang ada buku stensilan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukup mengasyikkan! (hlm. 42).

Gambaran di atas memberikan identitas Ali Topan yang kompleks. Ia penyuka buku-buku populer, tetapi ia juga pembaca buku-buku yang membutuhkan tingkat pembacaan yang tinggi. Keberadaan buku-buku Soekarno dan Niccolo Machiavelli juga menandakan pemerintahan Orde Baru yang masih muda, sehingga pengawasan sosial terhadap masyarakat masih belum begitu ketat. Bandingkan misalnya dengan pengawasan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer pada tahun 80-an ketika karya tetralogi Pulau Buru dilarang terbit. Keberadaan buku-buku Soekarno itu yang dikaitkan dengan tokoh utama dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk penolakan Ali Topan pada realitas (sistem) sosial pada masa itu yang semakin kental dengan nuansa kapitalisme.

Bentuk penolakan tersebut semakin tampak pada perilakunya yang hobi mengebut di jalanan, melakukan pembangkangan terhadap norma-norma yang diatur di rumahnya, serta mangkir terhadap aturan-aturan sekolahnya. Tampaknya, dengan cara itu Ali Topan melakukan kritik terhadap sistem sosial yang ada. Jika dikaitkan dengan sikap kebangsaan, nasionalisme pada diri Ali Topan berwujud pada ketidaksepakatannya pada tatanan nilai bangsa yang dianggapnya semakin melenceng dari nilai-nilai luhur.

Hal lain yang menarik bagi penulis adalah kutipan di bawah ini. 

“Komisinya berapa prosen?”
“Tin persen,” kata Ali Topan, “mau diambil sekarang uang mukanya juga boleh,” tambahnya sambil tersenyum.  (hlm. 89)

Kutipan di atas adalah dialog yang bercampur guyonan antara Ali Topan dan Maya, teman sekolahnya. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, kata tin seharusnya ditulis ten. Ungkapan “tim persen” mengasosiasikan pada ungkapan “Madame tien percent”, sebuah istilah yang mencuat ketika Siti Suhartinah Soeharto – lebih dikenal dengan nama Tien Soeharto – terlibat penuh dalam proyek mercusuar “bangsa” Indonesia: Taman Mini Indonesia Indah.  Proyek besar yang ini pada saat itu mendapat penentangan yang keras, terutama dari mahasiswa yang membuat Soeharto marah karena erasa dilecehkan setelah berbuat segalanya demi kepentingan “bangsa” (lihat Dhakidae dalam pengantar Imagined Communitites).

Sama seperti Ali Topan, Lupus adalah sosok remaja Jakarta yang dibesarkan pada tahun ‘80-an. Novel serial ini mengangkat cerita kehidupan Lupus, sosok remaja yang selalu ceria, indah dan menyenangkan. Kisah-kisah humoris dengan bahasa gaul anak remaja, menggambarkan kehidupan anak SMA yang ringan—tanpa beban.

Keluarga Lupus termasuk ke dalam kelas menengah. Ibunya memiliki usaha katering untuk menghidupi keluarga setelah ayah Lupus meninggal. Namun, lingkungan sekolah Lupus mengetengahkan realitas ekonomi yang beragam, dari  kelas menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosial Lupus dan teman-temannya menjadi lebih beragam. Lupus, Boim, Gito dan Gusur termasuk ke dalam golongan keluarga yang biasa-biasa saja. Setiap berangkat sekolah, mereka menggunakan fasilitas bis umum. Tetapi ada juga temanya seperti Vera, yang selalu diantar-jemput sopir, atau Fifi Alone, yang hampir setiap hari mentraktir teman-temannya.

Lupus memang digambarkan seperti tak pernah mengalami kesulitan. Hidupnya selalu bahagia: hal itulah yang membuat serial Lupus digandrungi pembaca. Berbagai kejadian yang menimpa Lupus selalu terkesan lucu dan mengundang tawa. Kehidupan yang selalu dianggap ringan dan menyenangkan membuat Lupus menjadi remaja yang selalu dalam perasaan senang. Lupus selalu bahagia menjalankan kehidupannya meskipun  kadang-kadang kehidupan tersebut tidak selalu menyenangkan.

Pada satu sisi, Lupus memiliki kesamaan dengan Ali Topan. Ia juga orang yang kreatif meskipun tidak terlalu cerdas, menikmati keremajaannya dengan kemampuannya menulis freelance di majalah remaja, sering mengisi rubrik mading sekolah, terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah, tetapi juga menikmati kejahilan-kejahilan yang dilakukannya dengan sadar bersama teman-temannya. Intinya, Lupus adalah remaja yang menikmatinya masa remajanya dengan irama yang mengalir.
Ciri khas yang paling menonjol pada diri Lupus adalah sikap hidupnya yang selalu memandang sesuatu secara positif. Kejadian negatif apapun yang dialaminya selalu dilihatnya dari kaca mata positif. Itulah yang membuat Lupus selalu ceria dan tanpa beban. Pun ketika prestasi sekolah yang dicapainya tergolong biasa-biasa saja. Kutipan di bawah ini menegaskan hal itu.

“Saya dengar kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapot bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah,, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok. Tewas dengan sukses. Hahahaha….”
(hlm. 38)

Demikianlah kepribadian Lupus. Akan tetapi, sikap hidup positif, ceria, dan tanpa beban itu memiliki implikasi yang lain. Lupus menjadi kurang peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungannya. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan realitas sosial di lingkungannya disikapi Lupus secara tidak kritis. Contohnya adalah saat banjir melanda kampungnya seperti yang dikutip berikut ini.

“Daerah tempat Lupus tinggal termasuk daerah yang cukup aneh juga. Suka kebanjiran. Nggak peduli hujan lebat atau sekadar rintik-rintik, ya tetap kebanjiran. Kalau sudah begitu, daerah sekelilingnya nggak ketulungan beceknya. Kayak kandang bebek. Namun Lupus toh tidak pernah sombong meski tinggal di daerah elit macam begitu. Biasa-biasa aja.” (hlm.77)
           
 “Jadi ya suka-suka aja banjirnya. Nggak bisa dipaksa. Kata orang sih itu banjir kiriman dari Bogor. Tapi Lupus nggak percaya. Masalahnya, apa orang-orang Bogor segitu kurang kerjaannya sampai sempat-sempatnya ngirim banjir segala ke rumah Lupus? Lagian, memaketkan air sebanyak itu rada sulit juga, lho! Belum lagi ongkos kirimnya. Jadi jelas bo’ong.” (hlm.77)

Realitas sosial maupun ekonomi yang menimpa Lupus selalu disikapi Lupus dengan ringan. Banjir sekalipun tak pernah membuat Lupus bersedih, mengeluh, atau mengkritiknya. Fenomena banjir tersebut sebenarnya dapat disikapi dengan cara yang lebih kritis. Akan tetapi, Lupus lebih memilih menyikapinya dengan cara santai.
           
Bagi Lupus, masalah sosial tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan secara serius. Dalam hal ini, masalah sosial tersebut oleh Lupus dapat dibolak-balik sehingga suatu masalah besar menjadi sesuatu yang ringan saja. Padahal, fenomena “banjir kiriman” dari Bogor ini merupakan masalah yang besar. Widya Siska dalam artikelnya “Jika Hujan Bukan Lagi Rahmat” mengutip Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Slamet Daroyni yang menilai banjir yang sering terjadi disebabkan sistem drainase yang ada di DKI Jakarta sangat buruk. Penyebab lainnya adalah pemberian izin pembangunan gedung yang berjalan sporadis sehingga merusak hutan kota. Di sisi lain, Tingginya curah hujan di Bogor ditambah merebaknya pembangunan area perumahan mewah di daerah Puncak membuat air hujan mengalir dan menggenangi Jakarta.

Uraian di atas menandakan bahwa banjir bukan hanya merupakan fenomena alam, tetapi juga menandakan adanya ketidakberesan dalam penyelenggaran pemerintahan. Ada persoalan utama yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah yang perlu dikritisi. Dan itu berarti ada permasalahan keadilan yang diciderai, terutama oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Akan tetapi, di tangan Lupus, masalah tersebut menjadi sebuah masalah yang ringan, bahkan cenderung lucu sehingga membuat pembaca menjadi lalai pada masalah sesungguhnya.

Inilah sosok Lupus, representasi remaja yang menjalani kehidupannya dengan ringan, santai, dan tanpa beban. Karena itu, kehidupan Lupus sebenarnya cenderung lepas dari konflik karena dia menyikapi fenomena di dalam lingkungannya tanpa pretensi apa-apa. Persaingan yang dilakukan di antara dia dan teman-temannya – dalam hal menggaet cewek atau saling berebur pengaruh dalam prestasi di lingkungan sekolah – cenderung cair sehingga tidak pernah terjadi konflik yang signifikan.

Pada satu sisi, hal ini mengungkapkan serta menawarkan keceriaan masa remaja. Akan tetapi, di sisi lain sosok Lupus dapat memberi pengaruh pada pembaca untuk menjadi tidak kritis terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

Tentu sulit mendapatkan gambaran nasionalisme secara definitif dalam novel ini. Lupus adalah representasi remaja yang menikmati segala pernak-pernik kehidupannya sebagai seorang remaja: pahit-manis kehidupan sekolah, persahabatan, percintaan, dan kenakalan (kejahilan) remaja. Dunia Lupus adalah dunia remaja yang penuh dengan keceriaan. Barangkali, inilah representasi remaja yang lahir pada masa 80-an ketika Orde Baru telah sukses mencanangkan proyek pembangunannya dengan menjaga stabilitas sosial politik secara konstan dan terjaga. Jadi, nasionalisme yang tecermin dalam novel ini adalah sikap kebangsaan yang diformulakan dengan cara mendukung sepenuhnya segala bentuk pembangunan Indonesia, termasuk dengan cara menikmatinya segala kemapanan ekonomi tersebut.

Jika Lupus lahir dan berada di pusat kekuasaan, Roy mengetengahkan realita sosial ekonomi menengah ke bawah di pinggiran Kota Jakarta, tepatnya di daerah Banten. Latar belakang keluarga Roy hampir sama dengan latar belakang kehidupan Lupus. Ayah Roy telah meninggal sehingga untuk menghidupi keluarga Ibunya bekerja menjahit pakaian.

Jika dunia lupus digambarkan penuh dengan gelak tawa, dunia Roy adalah dunia yang kelam. Jika dunia remaja Lupus digambarkan penuh keceriaan, dunia remaja Roy digambarkan penuh liku dan intrik-intrik dan persaingan. Jika serial Lupus menyuguhkan realita yang berwarna indah, Balada Si Roy menyuguhkan realita yang perih dan bagaimana seorang Roy harus menghadapinya. Dapat dikatakan, Roy adalah sosok alter ego Lupus. Pada Balada Si Roy, sosok Roy digambarkan sebagai sosok yang keras dengan lingkungan keras. Karena itu, sejak awal sudah tergambar bentuk-bentuk persaingan yang mengarah pada konflik terbuka. Sosok Roy digambarkan secara sadar memilih untuk terlibat dalam konflik-konflik tersebut. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini.

….Ada empat koboi sombong dengan angkuh sedang nangkring dengan Hardtop-nya. Di bodi mobil itu tertulis sembilan huruf besar-besar.

Borsalino, bisik Roy mengeja huruf-huruf itu. Sorot mata mereka sinis dan tidak bersahabat. Dia mesti hati-hati dengan kelompok itu. Persaingan sudah dimulai saat itu juga. Itulah remaja. Dunia lelaki. Keras dan kadang kala tidak bertanggung jawab. Dia menyadari dan berani menghadapi risikonya. (hlm. 4)

Jika Lupus cenderung lebih santai dalam menanggapi realitas sosial yang ada, Roy justru digambarkan penuh dengan sikap protes dan penolakan. Bandingkan sikap santai Lupus menghadapi banjir yang menimpa rumahnya dengan sikap kritis Roy terhadap fenomena sosial di sekitarnya.

            Bagi yang biasa diberi uang saku memang tidak masalah. Tapi yang tidak? Atau guru-guru yang gajinya pas-pasan untuk bayar kreditan perumnas atau BTN, belum dipotong iuran-iuran lainnya? (hlm.129)
           
Kalau saja setiap guru punya mobil dan gajinya sesuai dengan kondisi zaman, betapa mereka akan bahagia dan leluasa mencurahkan ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya, tanpa harus memikirkan apakah uang bayaran anaknya sudah lunas dan jatah beras selama sebulan mencukupi? (hlm.130)

            …. Katanya sudah sepuluh tahun mangkal di situ. Tidak ada perubahan dalam segi ekonomi selain kiosnya yang semakin reyo, juga orangnya yang suka sakit-sakitan. Ini jelas puisi kehidupan. Menyedihkan. Di bumi kita ini, yang kaya memang semakin kenyang dan  yang miskin semakin tenggelam (hlm. 51.).

Dibandingkan dengan Lupus, Roy justru cenderung lebih problematis. Kehidupannya yang banyak ditempa oleh kerasnya hidup membuat Roy lebih peduli dengan fenomena sosial di sekelilingnya. Sebagai sosok alter ego Lupus, Roy memang agak kesulitan menerima realita yang ada. Roy adalah representasi remaja yang terlepas dari dunia konkretnya dan mencoba menemukan dunia yang diidealkannya. Ia melakukan protes dan penolakan terhadap kehidupan bangsanya dengan mencari dan terus mencari dunia yang diidealkannya – dunia yang dalam pandangan Plato sebagai dunia ide – dengan melakukan petualangan demi petualangan.

4. Penutup

Nasionalisme pada pemerintahan Orde Baru adalah sikap kebangsaan yang diimplementasikan dengan kepatuhan dan ketundukan terhadap negara. Pemerintah Orde Baru sebagai alat negara pada saat itu adalah lembaga yang menentukan tingkat kepatuhan rakyatnya terhadap kebijakan pemerintah dengan konsep pancasilais dan tidak pancasilais.

Novel yang lahir pada awal pemerintahan Orde Baru pada tahun ’70-an masih dibayang-bayangi oleh sistem Orde Lama. Pengaruhnya terlihat pada tokoh Ali Topan dalam Ali Topan Anak Jalanan sebagai  representasi remaja Indonesia pada masa itu. Di satu sisi, Ali Topan adalah remaja dibesarkan pada masa Orde Baru, tetapi di sisi lain ia pun dilahirkan pada masa Orde Lama. Hegemoni pemerintah pada generasi muda (remaja) pada saat itu belum cukup matang sehingga melahirkan tokoh remaja yang kritis dan cenderung memberontak terhadap nilai-nilai yang mulai digulirkan pada sistem pemerintahan Orde Baru.

Sementara itu, novel yang lahir ketika sistem Orde Baru yang sudah mulai matang pada tahun ’80-an melahirkan tokoh remaja dengan sikap kebangsaan yang terbelah. Pertama, remaja yang dapat menerima realitas yang dikontruksi Orde Baru, dengan menjalani sistem tersebut dan memposisikan dirinya sebagai bagian dari sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Lupus dalam novel Lupus. Kedua, remaja yang tidak dapat menerima realitas yang dikonstruksi Orde Baru, dengan cara keluar dari bagian sistem tersebut. Hal itu direpresentasikan oleh tokoh Roy dalam novel Balada Si Roy.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar