Minggu, 24 Februari 2013

Jejak Kaum Muda Indonesia*


oleh Muhamad Adji

Tidak dapat dimungkiri, peristiwa Sumpah Pemuda 1928 telah menjadi sejarah sekaligus mitos dalam kehidupan kita. Sebab, ia menegaskan betapa kekuatan pemuda begitu besar perannya dalam menopang tegaknya sebuah bangsa. Maka, setiap tahun kita memperingatinya sebagai bagian dari sejarah yang mendasari lahirnya sebuah bangsa. Dengan tiga pilar, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, ia menjadi magnet yang menyatukan berbagai keyakinan, berbagai kepentingan yang mendasari pendirian negara Indonesia yang berdaulat dari segala bentuk penindasan.
Namun, perjuangan pemuda Indonesia dalam merumuskan konsep suatu bangsa tidak bisa dilihat hanya dalam bentuknya yang telah jadi seperti saat ini. Ia tidak bisa dilihat layaknya makanan instan yang dalam hitungan waktu telah berbentuk produk jadi. Perjuangan itu telah melalui proses dialektika yang panjang. Seperti yang dikatakan Frans Magnis Suseno (2011), kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami yang didasarkan oleh adanya satu bahasa dan satu budaya yang lantas diungkapkan dalam kesatuan negara yang bernama Indonesia. Kebangsaan Indonesia berangkat dari pengalaman manusia yang sama: mengalami ketertindasan bersama dan pengalaman ketidakadilan yang diderita bersama. Pengalaman yang sama ini memunculkan perasaan yang satu. Karena itu, Sumpah Pemuda, sebagai sebuah mitos keberhasilan kaum pemuda dalam membuat pilar bangsa sepatutnya dilihat sebagai sebuah momentum mengikatkan yang pengalaman bersama tersebut. Layaknya sebuah momentum, maka ia sejatinya harus dilihat sebagai bagian dari proses dialektika dalam memaknai sebuah bangsa, memaknai arti kemerdekaan, dan memaknai persatuan dalam keanekaragaman.

Jalan Berliku
Sebelum dikekalkan dalam mitos sebagai tonggak bangsa, banyak jalan yang telah dilewati oleh para pemuda Inddonesia, baik melalui jalan yang mudah maupun berisiko. Sebagian melalui jalan terbuka yang dikenal massa, namun ada pula yang memilih melalui jalan yang sunyi. Soekarno, Moch. Hatta, Syahrir, adalah tokoh-tokoh pemuda yang dikenal baik pada masa itu karena sosoknya yang selalu berada di depan dalam barisan pemuda. Ketiga sosok pemuda tersebut lekat dalam berbagai wacana kebangsaan, pun tidak terkecuali dalam dunia sastra. Dalam puisi heroik Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar yang sering dibacakan siswa dalam momen-moment mengenang peristiwa kebangsaan, mereka dihidupkan sebagai tokoh-tokoh pemuda yang harus terus dijaga keberadaannya. Namun, di sisi lain, ada pula yang menyepi dari kerumunan massa, tetapi tetap berjuang bagi bangsanya dengan gagasan-gagasannya yang bernas tentang Indonesia. Mereka memilih berjuang sendirian, tetapi gagasan-gagasan mereka masih tetap hidup dalam konteks masa kini. Tan Malaka mungkin salah satu nama yang berada di jalan itu.
            Di luar itu semua, sosok Minke mungkin tidak akan dikenal dalam sejarah perjuangan pemuda Indonesia. Bukan hanya karena ia tidak populer, melainkan karena ia bukan tokoh nyata, ia adalah tokoh fiksional dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, karya sastra kanon yang sempat dilarang terbit dan beredar pada masa rezim Orde Baru. Nama lengkap Minke adalah Raden Tirto Adi Suryo. Nama ini pun tidak akrab dalam sejarah kebangsaan kita, padahal ia merupakan tokoh pers Indonesia pertama yang merintis jalan pembentukan gerakan kebangsaan. Pramoedya yang juga menulis biografi Raden Tirto Adi Suryo, menjadikan tokoh sejarah tersebut sebagai model tokoh fiksionalnya. Itu juga tidak lepas dari keinginan Pram untuk menghidupkan peran tokoh pemuda tersebut dalam memori kolektif bangsa Indonesia.
Perjalanan Minke menjadi penanda jalan panjang yang dilalui oleh pemuda Indonesia. Ia menyadarkan kita arti perjuangan kebangsaan yang sesungguhnya. Dari Minke, yang seorang siswa HBS, kita menjadi tahu bahwa perjuangan kebangsaan itu tidak bisa dilakukan jika kita masih menggunakan perspektif penguasa kolonial masa itu. Perjuangan yang sesungguhnya adalah perjuangan melibatkan diri dengan tanah air, melibatkan diri dalam perasaan senasib yang mengikatkan diri pada penderitaan rakyat.
Ketidakadilan yang sering diterima bangsa Indonesia sebagai warga kelas dua bahkan kelas kesekian di tanah air sendiri merupakan kenyataan yang tidak terelakkan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Sebagai anak Bupati, Minke pun mendapat keistimewaan dari politik etis Belanda dengan diperbolehkan mencicipi pendidikan Belanda. Namun, kehormatan itu sekaligus membuka borok pemerintah kolonial karena di sanalah ketidakadilan itu terbuka dengan nyata. Nama Minke yang diberikan oleh gurunya yang merupakan plesetan dari kata monkey menunjukkan bahwa bangsa pribumi tetap dipandang rendah oleh bangsa kolonial sehingga tidak akan pernah mendapatkan kedudukan yang setara, apalagi untuk memperoleh hak-haknya sebagai pribumi.
Maka, dari kenyataan yang mengiris itu, Minke sebagai representasi pemuda masa itu sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Kepemilikan atas tanah air ini menyadarkannya bahwa sebagai pribumi ia memang berbeda dari bangsa Belanda, bahwa hak untuk mendiami tanah air ini ada pada pribumi, bukan pada bangsa kolonial. Semua itu merupakan kesadaran yang berangkat dari pengalaman pahit sebagai bangsa Indonesia. Perjuangan yang dilakukan Minke melakukan proses penyadaran, melalui tulisan di surat kabar yang berbahasa Melayu, bukan bahasa Belanda yang selama ini diakrabi Minke sejak kecil dan tertanam di benaknya sebagai lingua franca.
Pemakaian bahasa Belanda disadari Minke menjadikannya tidak bisa lepas dari paradigma bahasa itu sendiri. Sebab, bagaimana kita memandang sesuatu, itu tidak bisa dilepaskan dari bahasa (Kevin O’Donnel, 2009). Bahasa tidak hanya berarti alat untuk menyampaikan sesuatu, tetapi, dengan bahasa, kita juga sedang mengonstruksi sesuatu. Menggunakan bahasa Belanda berarti sedang memperbincangkan bangsa pribumi dalam konstruksi penguasa kolonial. Karena konstruksi penguasa kolonial sangat mengandung bias atas pribumi, maka bahasanya pun pasti akan mengandung bias. Oleh karena itu, Minke memutuskan menggunakan bahasa Melayu karena dengan cara itulah dia bisa memandang bangsanya dengan bahasa sendiri, sekaligus mengikatkan rasa kebangsaannya dengan kehidupan bangsa Indonesia yang sesungguhnya..
Keputusan Minke untuk tidak lagi menggunakan bahasa Belanda dalam mengungkapkan gagasannya paralel dengan kesadaran pemuda pada masa itu, yang menjadikan bahasa sebagai salah poin pernyataan yang tertuang dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Maka bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dideklarasikan para pemuda pada 28 Oktober 1928 juga merupakan bentuk kesadaran politik. Meskipun jauh setelah itu Indonesia baru meraih kemerdekaannya, tidak dapat disangkal bahwa pergerakan para pemuda telah menjadi cikal bakal sebuah kesadaran akan negeri yang berdaulat, yang didasari oleh semangat kebangsaan dan bahasa persatuan.

Langkah Pemuda Hari Ini 
Kesadaran akan tanah air yang satu, bangsa yang satu, bahasa yang satu, sejatinya masih menjadi bagian dari kesadaran kita saat ini. Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, pernyataan yang merupakan janji para pemuda 83 tahun yang lalu harus dimaknai kembali dalam konteks masa kini. Kesadaran yang melibatkan diri dengan keinginan dan harapan rakyat semestinya masih menjadi jiwa perjuangan pemuda masa kini.
Jejak pemuda masa lalu dengan berbagai peran yang mereka lakukan telah menjadi memori kolektif masa kini. Akan tetapi, sejauh manakah kita telah memaknai jejak langkah yang telah mereka torehkan? Apakah yang telah kita isi sebagai penerus langkah mereka? Penyadaran yang dilakukan oleh Minke merupakan sebuah inkhtiar untuk mengajak bangsa Indonesia menatap dirinya sendiri. Merenungi posisinya di rumahnya sendiri dan memperjuangkan hak-hak yang semestinya dimiliki oleh pemilik rumah itu.
Masa imperialisme memang telah berakhir. Jika Soekarno (1958) pernah mengatakan bahwa hakikat perjuangan suatu bangsa adalah perjuangan melawan imperialisme, maka dalam konteks saat ini, yang perlu dilakukan adalah merenungi untuk menginterpretasikan hakikat perjuangan itu sendiri. Globalisasi memang telah mengaburkan batas-batas tanah air, batas-batas bangsa, serta batas-batas bahasa. Ruang dunia yang semakin terbuka semakin mengaburkan identitas seperti yang didengungkan para pemuda di tahun 1928 itu. Akan tetapi, yang masih menjadi persoalan penting adalah bagaimana kita memaknai globalisasi secara proporsional dengan tetap meletakkan diri kita pada tanah mana kita berpijak. Dengan itu, kesadaran satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, tetap menjadi kesadaran kolektif yang menunjukkan siapa diri kita dan kemana keberpihakan kita. Seharusnya di ruang itulah pemuda masa kini menempatkan dirinya. Mengisi ruang kemerdekaan tidak hanya berarti melibatkan diri dalam ruang-ruang yang diciptakan oleh oleh ruang dan waktu masa ini. Mengisi ruang kemerdekaan berarti juga peka dan berusaha memahami persoalan-persoalan yang melilit bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan yang melilit Indonesia saat ini masih berada dalam ruang tunggu kemerdekaan. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan mental korup yang tidak pernah lekang oleh waktu (bahkan oleh reformasi sekalipun), merupakan fenomena yang masih sangat kasat mata. Ia terentang mulai dari produk UU yang merugikan rakyat, kebijakan pemerintah yang memanjakan pihak asing,  sampai pada penerapan dan pengawasan hukum yang lemah. Semuanya itu masih menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia sampai hari ini, di usianya yang telah melewati 56 tahun.
            Oleh karena itu, langkah yang harus diretas oleh pemuda Indonesia adalah menerjemahkan kembali tiga pernyataan keramat yang tertuang dalam sejarah perjuangan pemuda itu ke dalam konteks persoalan keindonesiaan saat ini. Termasuk pula menginternalisasikannya dalam diri sehingga pemuda Indonesia tidak menjadi objek dari sistem, tetapi subjek yang dapat mengubah sistem. Dengan demikian, pemuda Indonesia diharapkan akan menjadi manusia-manusia yang integratif  dalam memandang dirinya dan bangsanya, bukan manusia yang cacat mental yang berani mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan diri sendiri. 


* * * * *
*Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Jabar, 31 Oktober 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar