oleh Muhamad Adji
Tidak
dapat dimungkiri, peristiwa Sumpah Pemuda 1928 telah menjadi sejarah sekaligus
mitos dalam kehidupan kita. Sebab, ia menegaskan betapa kekuatan pemuda begitu
besar perannya dalam menopang tegaknya sebuah bangsa. Maka, setiap tahun kita
memperingatinya sebagai bagian dari sejarah yang mendasari lahirnya sebuah bangsa.
Dengan tiga pilar, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, ia menjadi
magnet yang menyatukan berbagai keyakinan, berbagai kepentingan yang mendasari
pendirian negara Indonesia yang berdaulat dari segala bentuk penindasan.
Namun,
perjuangan pemuda Indonesia dalam merumuskan konsep suatu bangsa tidak bisa
dilihat hanya dalam bentuknya yang telah jadi seperti saat ini. Ia tidak bisa
dilihat layaknya makanan instan yang dalam hitungan waktu telah berbentuk
produk jadi. Perjuangan itu telah melalui proses dialektika yang panjang.
Seperti yang dikatakan Frans Magnis Suseno (2011), kebangsaan Indonesia bukan
sesuatu yang alami yang didasarkan oleh adanya satu bahasa dan satu budaya yang
lantas diungkapkan dalam kesatuan negara yang bernama Indonesia. Kebangsaan
Indonesia berangkat dari pengalaman manusia yang sama: mengalami ketertindasan
bersama dan pengalaman ketidakadilan yang diderita bersama. Pengalaman yang
sama ini memunculkan perasaan yang satu. Karena itu, Sumpah Pemuda, sebagai
sebuah mitos keberhasilan kaum pemuda dalam membuat pilar bangsa sepatutnya
dilihat sebagai sebuah momentum mengikatkan yang pengalaman bersama tersebut.
Layaknya sebuah momentum, maka ia sejatinya harus dilihat sebagai bagian dari
proses dialektika dalam memaknai sebuah bangsa, memaknai arti kemerdekaan, dan
memaknai persatuan dalam keanekaragaman.
Jalan Berliku
Sebelum
dikekalkan dalam mitos sebagai tonggak bangsa, banyak jalan yang telah dilewati
oleh para pemuda Inddonesia, baik melalui jalan yang mudah maupun berisiko. Sebagian
melalui jalan terbuka yang dikenal massa, namun ada pula yang memilih melalui
jalan yang sunyi. Soekarno, Moch. Hatta, Syahrir, adalah tokoh-tokoh pemuda
yang dikenal baik pada masa itu karena sosoknya yang selalu berada di depan
dalam barisan pemuda. Ketiga sosok pemuda tersebut lekat dalam berbagai wacana
kebangsaan, pun tidak terkecuali dalam dunia sastra. Dalam puisi heroik Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar yang
sering dibacakan siswa dalam momen-moment mengenang peristiwa kebangsaan,
mereka dihidupkan sebagai tokoh-tokoh pemuda yang harus terus dijaga
keberadaannya. Namun, di sisi lain, ada pula yang menyepi dari kerumunan massa,
tetapi tetap berjuang bagi bangsanya dengan gagasan-gagasannya yang bernas
tentang Indonesia. Mereka memilih berjuang sendirian, tetapi gagasan-gagasan
mereka masih tetap hidup dalam konteks masa kini. Tan Malaka mungkin salah satu
nama yang berada di jalan itu.
Di luar itu semua, sosok Minke
mungkin tidak akan dikenal dalam sejarah perjuangan pemuda Indonesia. Bukan hanya
karena ia tidak populer, melainkan karena ia bukan tokoh nyata, ia adalah tokoh
fiksional dalam tetralogi Pulau Buru
karya Pramoedya Ananta Toer, karya sastra kanon yang sempat dilarang terbit dan
beredar pada masa rezim Orde Baru. Nama lengkap Minke adalah Raden Tirto Adi
Suryo. Nama ini pun tidak akrab dalam sejarah kebangsaan kita, padahal ia
merupakan tokoh pers Indonesia pertama yang merintis jalan pembentukan gerakan
kebangsaan. Pramoedya yang juga menulis biografi Raden Tirto Adi Suryo, menjadikan
tokoh sejarah tersebut sebagai model tokoh fiksionalnya. Itu juga tidak lepas
dari keinginan Pram untuk menghidupkan peran tokoh pemuda tersebut dalam memori
kolektif bangsa Indonesia.
Perjalanan
Minke menjadi penanda jalan panjang yang dilalui oleh pemuda Indonesia. Ia
menyadarkan kita arti perjuangan kebangsaan yang sesungguhnya. Dari Minke, yang
seorang siswa HBS, kita menjadi tahu bahwa perjuangan kebangsaan itu tidak bisa
dilakukan jika kita masih menggunakan perspektif penguasa kolonial masa itu. Perjuangan
yang sesungguhnya adalah perjuangan melibatkan diri dengan tanah air,
melibatkan diri dalam perasaan senasib yang mengikatkan diri pada penderitaan
rakyat.
Ketidakadilan
yang sering diterima bangsa Indonesia sebagai warga kelas dua bahkan kelas
kesekian di tanah air sendiri merupakan kenyataan yang tidak terelakkan yang
dialami oleh bangsa Indonesia. Sebagai anak Bupati, Minke pun mendapat
keistimewaan dari politik etis Belanda dengan diperbolehkan mencicipi
pendidikan Belanda. Namun, kehormatan itu sekaligus membuka borok pemerintah
kolonial karena di sanalah ketidakadilan itu terbuka dengan nyata. Nama Minke
yang diberikan oleh gurunya yang merupakan plesetan dari kata monkey menunjukkan bahwa bangsa pribumi
tetap dipandang rendah oleh bangsa kolonial sehingga tidak akan pernah
mendapatkan kedudukan yang setara, apalagi untuk memperoleh hak-haknya sebagai
pribumi.
Maka,
dari kenyataan yang mengiris itu, Minke sebagai representasi pemuda masa itu
sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Kepemilikan atas tanah air ini
menyadarkannya bahwa sebagai pribumi ia memang berbeda dari bangsa Belanda,
bahwa hak untuk mendiami tanah air ini ada pada pribumi, bukan pada bangsa
kolonial. Semua itu merupakan kesadaran yang berangkat dari pengalaman pahit sebagai
bangsa Indonesia. Perjuangan yang dilakukan Minke melakukan proses penyadaran,
melalui tulisan di surat kabar yang berbahasa Melayu, bukan bahasa Belanda yang
selama ini diakrabi Minke sejak kecil dan tertanam di benaknya sebagai lingua franca.
Pemakaian
bahasa Belanda disadari Minke menjadikannya tidak bisa lepas dari paradigma
bahasa itu sendiri. Sebab, bagaimana kita memandang sesuatu, itu tidak bisa
dilepaskan dari bahasa (Kevin O’Donnel, 2009). Bahasa tidak hanya berarti alat
untuk menyampaikan sesuatu, tetapi, dengan bahasa, kita juga sedang
mengonstruksi sesuatu. Menggunakan bahasa Belanda berarti sedang
memperbincangkan bangsa pribumi dalam konstruksi penguasa kolonial. Karena
konstruksi penguasa kolonial sangat mengandung bias atas pribumi, maka
bahasanya pun pasti akan mengandung bias. Oleh karena itu, Minke memutuskan
menggunakan bahasa Melayu karena dengan cara itulah dia bisa memandang
bangsanya dengan bahasa sendiri, sekaligus mengikatkan rasa kebangsaannya
dengan kehidupan bangsa Indonesia yang sesungguhnya..
Keputusan
Minke untuk tidak lagi menggunakan bahasa Belanda dalam mengungkapkan
gagasannya paralel dengan kesadaran pemuda pada masa itu, yang menjadikan
bahasa sebagai salah poin pernyataan yang tertuang dalam peristiwa Sumpah Pemuda.
Maka bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dideklarasikan para pemuda
pada 28 Oktober 1928 juga merupakan bentuk kesadaran politik. Meskipun jauh
setelah itu Indonesia baru meraih kemerdekaannya, tidak dapat disangkal bahwa
pergerakan para pemuda telah menjadi cikal bakal sebuah kesadaran akan negeri
yang berdaulat, yang didasari oleh semangat kebangsaan dan bahasa persatuan.
Langkah Pemuda Hari Ini
Kesadaran
akan tanah air yang satu, bangsa yang satu, bahasa yang satu, sejatinya masih
menjadi bagian dari kesadaran kita saat ini. Dalam konteks ruang dan waktu yang
berbeda, pernyataan yang merupakan janji para pemuda 83 tahun yang lalu harus
dimaknai kembali dalam konteks masa kini. Kesadaran yang melibatkan diri dengan
keinginan dan harapan rakyat semestinya masih menjadi jiwa perjuangan pemuda
masa kini.
Jejak
pemuda masa lalu dengan berbagai peran yang mereka lakukan telah menjadi memori
kolektif masa kini. Akan tetapi, sejauh manakah kita telah memaknai jejak
langkah yang telah mereka torehkan? Apakah yang telah kita isi sebagai penerus
langkah mereka? Penyadaran yang dilakukan oleh Minke merupakan sebuah inkhtiar
untuk mengajak bangsa Indonesia menatap dirinya sendiri. Merenungi posisinya di
rumahnya sendiri dan memperjuangkan hak-hak yang semestinya dimiliki oleh
pemilik rumah itu.
Masa
imperialisme memang telah berakhir. Jika Soekarno (1958) pernah mengatakan
bahwa hakikat perjuangan suatu bangsa adalah perjuangan melawan imperialisme,
maka dalam konteks saat ini, yang perlu dilakukan adalah merenungi untuk
menginterpretasikan hakikat perjuangan itu sendiri. Globalisasi memang telah
mengaburkan batas-batas tanah air, batas-batas bangsa, serta batas-batas
bahasa. Ruang dunia yang semakin terbuka semakin mengaburkan identitas seperti
yang didengungkan para pemuda di tahun 1928 itu. Akan tetapi, yang masih
menjadi persoalan penting adalah bagaimana kita memaknai globalisasi secara
proporsional dengan tetap meletakkan diri kita pada tanah mana kita berpijak.
Dengan itu, kesadaran satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, tetap
menjadi kesadaran kolektif yang menunjukkan siapa diri kita dan kemana
keberpihakan kita. Seharusnya di ruang itulah pemuda masa kini menempatkan
dirinya. Mengisi ruang kemerdekaan tidak hanya berarti melibatkan diri dalam
ruang-ruang yang diciptakan oleh oleh ruang dan waktu masa ini. Mengisi ruang
kemerdekaan berarti juga peka dan berusaha memahami persoalan-persoalan yang
melilit bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan yang melilit Indonesia saat ini
masih berada dalam ruang tunggu kemerdekaan. Persoalan kemiskinan,
ketidakadilan, dan mental korup yang tidak pernah lekang oleh waktu (bahkan
oleh reformasi sekalipun), merupakan fenomena yang masih sangat kasat mata. Ia
terentang mulai dari produk UU yang merugikan rakyat, kebijakan pemerintah yang
memanjakan pihak asing, sampai pada
penerapan dan pengawasan hukum yang lemah. Semuanya itu masih menjadi pekerjaan
rumah bangsa Indonesia sampai hari ini, di usianya yang telah melewati 56
tahun.
Oleh karena itu, langkah yang harus
diretas oleh pemuda Indonesia adalah menerjemahkan kembali tiga pernyataan
keramat yang tertuang dalam sejarah perjuangan pemuda itu ke dalam konteks
persoalan keindonesiaan saat ini. Termasuk pula menginternalisasikannya dalam
diri sehingga pemuda Indonesia tidak menjadi objek dari sistem, tetapi subjek
yang dapat mengubah sistem. Dengan demikian, pemuda Indonesia diharapkan akan
menjadi manusia-manusia yang integratif
dalam memandang dirinya dan bangsanya, bukan manusia yang cacat mental
yang berani mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan diri sendiri.
* * * * *
*Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Jabar, 31 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar